Jumat, Maret 29, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaKPUKPU: Prinsip Mandiri Vis a Vis Oligarki Politik

KPU: Prinsip Mandiri Vis a Vis Oligarki Politik

“Penyelenggaraan Pemilu dalam setiap tahapan dan praktiknya sering kali dihiasi dengan berbagai persoalan yang semestinya tidak bisa ditolerir”

Ahirudin Yunus
Pengurus Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) Kabupaten Garut

WartaPemilu – Toleransi pada bentuk-bentuk pelanggaran yang dianggap sepele adalah sebuah kesalahan, yang jika dibiarkan akan terus terjadi dan membesar, sekaligus berdampak pada praktik Pemilu di masa-masa selanjutnya.

KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara Pemilu, tak luput dari persoalan tersebut.

Adanya dugaan kecurangan, manipulasi, ataupun praktik-praktik lainnya serta perilaku yang tidak mencerminkan prinsip mandiri dari penyelenggaraan Pemilu itu sendiri menjadi salah satu yang harus diberi perhatian.

Pada acara Rapat Konsolidasi Nasional dalam rangka Kesiapan Pelaksanaan Tahapan Pemilu Serentak 2024 yang dihadiri oleh jajaran KPU mulai pusat dan daerah pada Jum’at 02 Desember 2022 lalu, Presiden RI Joko Widodo memberikan arahan dan menekankan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian seluruh jajaran KPU.

Goal-settingnya adalah bagaimana menciptakan Pemilu yang semakin berkualitas mulai dari proses dan tahapan hingga hasilnya mendapat dukungan yang luas dari masyarakat.

Dari beberapa poin arahan yang Presiden sampaikan, setidaknya ada dua hal yang layak digarisbawahi.

Yang pertama adalah Presiden mengingatkan kepada seluruh jajaran KPU bahwa: “Hal teknis penyelenggaran Pemilu berpotensi menjadi hal yang politis. Keributan dan persoalan-persoalan yang timbul di lapangan menuntut penyelesaian secara detail. Maka dibutuhkan peran KPU yang mengedepankan transparansi atau keterbukaan”.

Pada titik ini, KPU harus bekerja sesuai amanat Undang-Undang dengan mengedepankan prinsip independen serta tidak menjadi representasi atas kepentingan siapapun termasuk peserta Pemilu.

KPU harus menjaga marwahnya sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, menjaga kepercayaan publik.

Terlebih diawal tahun 2023 ini yang dianggap sebagai tahun politik, idealnya KPU tidak melakukan hal-hal yang dapat memicu kontroversi seperti mengeluarkan statement yang berpotensi memunculkan opini negatif di mata publik.

Sebaliknya, KPU harus senantiasa dan selalu menunjukan komitmen dan integritasnya yang tinggi untuk mensukseskan Pemilu.

Di penghujung tahun 2022 yang lalu, masyarakat Indonesia merasakan sebuah keresahan yang luar biasa terkait dengan adanya statement yang bernada tendensius dari ketua KPU RI Hasyim Asy’ari perihal kemungkinan Pemilu yang akan dilaksanakan melalui sistem Proporsional Tertutup. 

Setidaknya statement tersebut mengakibatkan kebingungan pada pemilih dan kegaduhan secara nasional.

Bercermin dari kejadian tersebut, perlu kiranya agar semua lembaga penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU secara personal maupun kelembagaan, diharapkan tidak mengulangi polemik yang sama, menjaga tindakan dan ucapan sebagai bentuk implementasi tugas dan kewajibannya yang sesuai dengan Undang-Undang serta menghindari segala sesuatu yang berpotensial memicu perdebatan dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.

Polemik Pemilu Sistem Proporsional Tertutup

Di awal tahun 2023, tepatnya 3 Januari 2023, 8 Fraksi DPR RI menyatakan penolakan atas gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur sistem proporsional terbuka untuk Pemilu.

Surat Pernyataan Penolakan yang juga ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR ini didasarkan pada beberapa hal diantaranya:

Jika MK mengabulkan uji materi dan melakukan revisi terhadap Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 23 Desember 2008, hal ini akan beresiko pada pertumbuhan demokrasi di Indonesia yang akan mengalami degradasi secara nilai dan praktik.

Mahkamah Konstitusi diharapkan agar tetap konsisten dengan putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 sebagai wujud ikut serta mengawal dan menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia.

Selain itu, dasar pernyataan penolakan selanjutnya adalah berpijak pada fakta bahwa sistem proporsional tertutup dalam Pemilu itu cenderung disenangi oleh partai politik yang memiliki tradisi otoriter.

Pengalaman pelaksanaan Pemilu sepanjang masa orde lama dan orde baru menjadi cerminan bahwa sistem proporsional tertutup ini dinilai memiliki beberapa efek negatif, salah satunya menciptakan oligarki dalam partai yang berimplikasi pada kian terkikisnya nilai-nilai demokrasi, melahirkan politisi yang cenderung mengakar ke atas serta tertutupnya potensi kompetisi sesama kader partai politik.

Dasar penolakan selanjutnya adalah mempertimbangkan segi partisipasi politik dari rakyat yang selama ini (dari penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 s/d 2019) sedang bergairah melalui system proporsional terbuka akan redup dan cenderung berefek pada meningkatnya apatisme politik dan presentase golput.

Tentu saja hal ini akan menjadi semacam ancaman dan musibah bagi kemajuan dalam praktik berdemokrasi di Indonesia.

KPU dan Pendidikan Politik

Pelaksanaan Pemilu yang baik dan sukses, sesuai dengan asas dan prinsip-prinsip penyelenggaraannya, adalah hal yang harus diperjuangkan oleh semua pihak, terlebih oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara.

Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu adalah cerminan keberhasilan hidup kita dalam berdemokrasi di negara ini.

Harapan besar ini juga disampaikan dalam poin arahan berikutnya Presiden RI, Joko Widodo pada acara Rapat Konsolidasi Nasional dalam rangka Kesiapan Pelaksanaan Tahapan Pemilu Serentak 2024 yang dihadiri oleh jajaran KPU mulai pusat dan daerah pada Jum’at, 2 Desember 2022 lalu.

Presiden meminta KPU untuk: “Memperkuat pendidikan politik bagi para kontestan maupun masyarakat luas. Semua jajaran KPU harus menyadari besar dan pentingnya tugas untuk mengawal pesta demokrasi bangsa kita. Pendidikan politik menjadi dasar dari penguatan sumber daya manusia terkait pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan lainnya yang harus diupayakan bersama oleh penyelenggara, peserta, dan pemilih dalam rangka mensukseskan Pemilu”.

Dalam hal pendidikan politik, KPU beserta jajarannya, sebagai lembaga penyelenggara dan  pelaksana Pemilu yang memiliki karakter sebagai lembaga layanan, tidak seharusnya terjebak pada wilayah penentuan hukum dalam memutuskan apakah Pemilu 2024 mendatang akan dilaksanakan menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup, karena hal tersebut bukanlah kewenangan KPU.

Apalagi sampai dengan mengeluarkan statement yang menyatakan tentang kemungkinan Pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup. KPU harus menjadi garda terdepan yang menginisiasi sedari awal mengajak para peserta pemilu, pemilih dan semua elemen bangsa lainnya untuk melaksanakan Pemilu yang damai, jujur terbuka dan berintegritas, mengedepankan politik adu ide, adu gagasan serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Wallahu a’lam.(*)

BACA dan Ikuti Berita Menarik ‘Aktif Memberi Kabar’ Kabariku.com

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments