Jakarta, WartaPemilu – Pemetaan kerawanan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terus dilakukan oleh Polri. Dengan menggandeng stakeholder terkait, upaya pencegahan pun terus dilakukan.
Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertemakan ‘Menampik Berita Bohong, Ujaran Kebencian, Polintik Identitas, Polarisasi Politik, Dan Sara Pada Pemilu 2024’.
Acara tersebut menghadirkan Hasyim Asy’ari selaku Ketua KPU RI, Rahmat Bagia selaku Ketua Bawaslu RI, Brigien. Pol. Gatot Repli Handoko selaku Kepala Biro Multimedia Polri, Devie Rahmawati selaku Dosen Hubungan Masyarakat Vokasi UI, dan Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers.

“Kegiatan ini dapat memberikan gambaran yang jelas terkait potensi dan antisipasi pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu 2024, pengawasan penyelenggaraan Pemilu dalam konteks politik identitas, polarisasi politik dan isu SARA, memetakan strategi kontra wacana berita bohong dan ujaran kebencian terkait pemilu dan memaparkan langkah-langkah mitigasi Polri terhadap narasi kontraproduktif diruang siber jelang Pemilu 2024,” ungkap Kadiv Humas Polri, Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dalam keterangan resminya, Kamis (26/1/2023).
Ia menuturkan, perlu komitmen dari seluruh elemen bangsa, terutama para penyelenggara pemilu agar kehidupan demokrasi semakin matang dan berkualitas. Sehingga, melahirkan pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat.
“Dari FGD ini juga dapat memberikan pemahaman mengenai praktik politik identitas, polarisasi politik dan SARA dalam konteks pengawasan penyelenggaraan pemilu,” jelasnya.
Sementara itu dalam FGD, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menilai konflik dalam Pemilu merupakan hal yang lumrah, pasti akan terjadi karena suatu jabatan hanya bisa diduduki oleh satu orang.

“Presiden kursinya satu, DPR RI kursinya juga terbatas, tapi yang pengen banyak sekali. Sudah pastilah terjadi konflik,” kata Hasyim di acara Dialog Penguatan Internal Polri tersebut.
Menurutnya Pemilu merupakan sebuah kompetisi di negara demokrasi ini. Untuk mendapat kekuasaan, tentunya akan dibalut oleh konflik.
“Maka pastilah di situ ada konflik. Kalau bahasa halusnya kompetisi. Meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan yang sah ya lewat pemilu lewat pilkada,” katanya.
Oleh sebab itu, Hasyim menekankan untuk tidak menggunakan kekerasan politik dalam Pemilu. Namun, menurutnya di Indonesia belakangan ini tidak pernah terjadi adanya kekerasan politik.
“Yang kita harus sepakati bagaimana kemudian cara meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan tidak menggunakan kekerasan,” katanya.
“Boleh dikatakan sejak pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, hampir tidak ada yang namanya kekerasan politik dalam arti kekerasan fisik misalnya penculikan politik, pembunuhan politik, nauzubillah insyallah nggak ada. Ini yang harus kita pertahankan untuk tidak terjadi,” tambahnya.
Dalam FGD tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari juga mengatakan, bekas terpidana boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau anggota legislatif. Catatannya, pencalonan itu dilakukan setelah lima tahun bebas dari hukuman pidananya.
“Kalau sudah pernah kena pidana yang ancaman lima tahun lebih, boleh mencalonkan diri kalau sudah selesai menjalani pidananya, atau setelah menjadi mantan terpidana, atau istilah awamnya sudah bebas murni. Dan durasi bebas murninya sudah lebih dari lima tahun,” jelas Hasyim
Pernyataan tersebut merupakan jawaban Hasyim terkait perdebatan mengenai orang yang pernah terkena kasus korupsi dan ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat atau kepala daerah.
Kalau pandangan KPU, ucap Hasyim, salah satu unsur tindak pidana korupsi itu ada unsur penyalahgunaan wewenang.
“Itu artinya apa? Orang dikasih wewenang, tetapi disalahgunakan. Ini berarti nggak kredibel. Mestinya nggak boleh dong nyalon lagi, karena sudah pernah mengkhianati amanah yang diberikan,” ucap Hasyim.
Untuk tahun ini, sudah dimulai dari pilkada yang kemarin orang yang pernah kena pidana dengan ancaman 5 tahun lebih tidak boleh mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah. Kecuali selesainya masa hukuman itu sudah melampaui batas waktu lima tahun.
“Setidaknya dengan pendekatan-pendekatan seperti itu, kan perdebatan di publik tentang kepastian boleh tidaknya sudah ada kepastian,” kata Hasyim.
Disisi lain, hal ini dapat menjadi pelajaran bahwa orang-orang yang sudah pernah diberi amanah, lalu mengingkari amanahnya, tidak layak lagi untuk menjadi pejabat publik.(*)
Baca dan Ikuti Berita Menarik ‘Aktif Memberi Kabar’ Kabariku.com
Discussion about this post