GARUT, WARTAPEMILU – Pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno lewat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) nomor 33 tahun 1967, dipandang sebagai kebijakan yang bersifat politis dan tidak sehat. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Dr Abdy Yuhana.
Dalam Tap MPRS tersebut, menurut Abdy disebutkan jika Presiden pertama RI Soekarno, diindikasikan terlibat secara tidak langsung menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta melindungi tokoh-tokoh PKI.
Dalam analisa Abdy, hal tersebut sangat kental muatan politis karena tidak dilandasi dengan putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap terkait kebijakan yang dinilai sebagai kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan PKI dan melindungi tokoh-tokoh PKI.
Abdy menuturkan, selain soal PKI, ketetapan MPRS yang menyatakan bahwa Negara dalam kemunduran ekonomi, juga tidak disertai dengan hasil riset dari pakar ekonomi, hingga perihal kemerosotan akhlak yang dituduhkan pada Soekarno pun, sangat tidak manusiawi karena Soekarno tidak pernah terlibat dalam kejahatan dan tidak ada norma social, hukum dan agama yang dilanggar Soekarno selama menjadi presiden.
“Ketetapan MPRS ini juga tidak mencerminkan nilai-nilai atau norma-norma yang terdapat dalam pembukaan dan penjelasan UUD 45,” tegasnya.
Selain mempermasalahkan soal hal-hal yang dituduhkan pada Soekarno dalam ketetapan MPRS tersebut tidak berdasar, Abdy juga melihat, konsideran ketetapan MPRS tersebut, landasan filosofinya sangat bertentangan dengan filosofi pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang dibentuk dengan mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
“Keputusan Pimpinan MPRS Nomor 13/B/1967 tentang penolakan pidato pelengkap Nawaksara juga tidak bisa dijadikan landasan yuridis dalam konsideran pembentukan Tap MPRS 33 Tahun 1967,” tegasnya.
Konsideran ketetapan MPRS, menurut Abdy harusnya memiliki dasar hukum, legalitas dan landasan hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi atau sederajat menurut hierarki peraturan perundang-undangan.
“Karenanya, penetapan MPRS nomor 33 tahun 1967, tidak sesuai dengan landasan pembentukan peraturan perundang-undangan, tujuan filosofis dan yuridis yang ada dalam ketetapan tersebut, tidak mencerminkan politik hukum yang baik dan benar, makanya ketetapan tersebut tidak sehat dan bersifat politis,” katanya. (*)