oleh :
Galih F. Qurbany
WartaPemilu – Manuver politik Jokowi dalam membangun dinasti politik dan menjadikan Pilpres 2024 sebagai medan pertarungan melawan PDIP telah menciptakan ketegangan yang tinggi di dalam politik Indonesia. Kekuasaan seorang pemimpin seharusnya tidak didasarkan pada nepotisme dan kepentingan keluarga, tetapi pada visi yang jelas untuk adil dan sejahtera masyarakat.
Munculnya pertanyaan, mengapa Jokowi tetap memilih Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto, meski ia mengetahui bahwa langkah ini akan membuka konflik baru dengan PDIP, partai yang telah mendukung dan membesarkan karier politiknya. Bukankah ini suatu bentuk penghianatan, ketika air susu dibalas dengan air tuba?
Para pemikir politik, seperti Sun Tzu dalam “The Art of War”, telah menekankan pentingnya strategi dan taktik dalam memenangkan perang. Dalam konteks politik Jokowi dan PDIP, kita dapat mempelajari hubungan yang menciptakan iklim konfrontasi. Apakah latar belakang dalang di balik keputusan Jokowi untuk mendorong Gibran sebagai Cawapres pada koalisi Indonesia Maju, padahal PDIP sendiri memiliki calon Presiden dan Cawapres, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD?.
Salah satu kemungkinan sebagaimana disampaikan politisi PDIP sekaligus aktivis, Adian Napitupulu dalam acara narasi di TVone beberapa waktu lalu, sebab perbedaan arah strategi Jokowi yang melahirkan konflik ini adalah karena penolakan oleh PDIP terhadap ide perpanjangan kekuasaan, penundaan Pemilu, dan jabatan Presiden untuk tiga periode. Ketidaksetujuan ini mungkin memicu Jokowi untuk menggali cara lain memperpanjang kekuasaannya, dengan cara memasang politik dinasti yang melibatkan anaknya dalam proses keberlangsungan kekuasaannya.
Meski praktik politik dinasti secara alami (Grow Naturally) tetap memiliki dampak yang merusak sistem dan tatanan demokrasi. Dalam teori “The Circulation of Elites” oleh Vilfredo Pareto, teori ini menjelaskan bagaimana elit politik senantiasa berubah dan berganti, namun selalu berasal dari kelompok yang sama, yang berusaha mempertahankan kekuasaan dalam kelompok tersebut. Selain itu, teori “Neo-Patrimonialism” oleh Max Weber juga digunakan untuk memahami praktik politik dinasti, dimana pengaruh personal dan kepentingan keluarga lebih dominan daripada prinsip-prinsip birokratis dan rasional dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam sejarah dunia praktek politik dinasti antara lain dinasti Kennedy di Amerika Serikat, dimana John F. Kennedy, Robert F. Kennedy, dan Edward “Ted” Kennedy berasal dari keluarga yang sama dan semuanya berkiprah dalam politik Amerika. Di India, keluarga Nehru-Gandhi juga merupakan contoh politik dinasti yang kuat, dengan Jawaharlal Nehru, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, dan Sonia Gandhi yang berperan penting dalam politik India. Meski secara hukum politik dinasti tidak dilarang namun secara etik dan normatif merupakan pelanggaran atas kaidah demokrasi, dan praktek politik dinasti yang terjadi dalam sejarah selalu secara alami (naturally), dimana ada jarak antara generasi penerus kekuasaan dengan kekeuasaan yang tengah berlangsung bahkan adapula generasi pertama pemegang kekeuasaan telah wapat jauh sebelum generasi penerusnya baru mampu merebut kekuasaan.
Demikian juga di Indonesia, Megawati Soekarnoputri adalah bagian dari politik dinasti hanya perlu dicatat, yang dilakukan oleh Megawati bukanlah menggunakan sentuhan politik kekuasaan ayahnya sang proklamator, tapi lebih pada dinasti yang melanjutkan gagasan besar ideologi nasionilsme dan proletarianime, dan semua dilakukan dengan perjuangan yang panjang dan berat.
Namun yang terjadi pada dinasti yang digaungkan oleh Jokowi sangat miris, yang mengikutsertakan Gibran Rakabuming Raka, anaknya, dalam pencalonannya sebagai Cawapres dari Koalisis Indonesia Maju (KIM), untuk tampil dalam perebutan kekuasaan disaat Jokowi sedang berkuasa dan full power, yang tentu saja berimplikasi besar terhadap kemulusan langkah politik Gibran, baik pra pencalonan maupun pasca.
Oleh karena itu apa terjadi pada dinasti Jokowi ini tidak terjadi secara natural (Grows not Naturally). Sebaliknya, Jokowi menggunakan pengaruh langsung atau tidak langsung pada kekuasaannya untuk “memperkosa” aturan dan undang-undang yang berlaku, Melalui Judicial Reviue mahkamah konstitusi yang dipimpin ketua MK yang nota bene adik iparnya, untuk menetapkan batas usia minimum seorang Capres/Cawapres 40 tahun dengan menambahkan klausul/prase khusus, “bahwa batas usia minimun capres dan cawapres adalah 40 tahun dan atau pernah /sedang menjabat sebagai kepala daerah. Sehingga anaknya Gibran yang sedang menjabat kepala daerah saat ini, meski usianya baru 36 tahun tidak terperangkap oleh aturan yang ada. Tindakan ini merupakan abuse of power dan bentuk intervensi dari seorang pemimpin dengan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya ditegakkan.
Seharus kita paham bahwa politik dinasti berdasarkan studi empiris yang dilakukan oleh Besley, Persson & Sturm (2011) menemukan bahwa politik dinasti menyebabkan adanya rent-seeking atau persekusi kekayaan oleh para pemegang kekuasaan dan anggota keluarganya, serta meningkatkan peluang terjadinya korupsi dalam pemerintahan, dan politik dinasti di berbagai negara memunculkan implikasi negatif bagi perjalanan demokrasi dan peradaban suatu bangsa.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dan seluruh pihak yang peduli terhadap demokrasi dan keadilan perlu melawan politik dinasti yang diusung oleh Jokowi dan para pemujanya.
Kita harus memastikan bahwa demokrasi, sebagai pilar utama penyelenggaraan negara, tidak dikompromikan demi kepentingan dinasti politik yang mengedepankan ambisi pribadi, kepentingan keluarga, dan mempertahankan status quo kekuasaan.
Perlawanan terhadap politik dinasti dapat dilakukan melalui strategi, seperti peningkatan literasi politik masyarakat dan pemberdayaan organisasi masyarakat sipil dalam mengedukasi publik tentang bahaya politik dinasti. Selain itu, penguatan lembaga dan Undang-Undang yang mengatur proses politik dan pemilihan pun perlu diupayakan, guna mengantisipasi dan meminimalisir penetrasi praktik politik dinasti dalam sistem demokrasi yang ada.
Lebih jauh lagi, masyarakat perlu memilih pemimpin yang jelas integritas dan kompetensinya yang menolak praktek politik dinasiti dan tegak lurus mengusung perubahan atas segala bentuk kebiadaban rekayasa poltik yang telah menipu dan menyengsarakan rakyat. Pemimpin yang kita inginksn adalah pemimpin yang fokus pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan keluarga atau kelompok politik tertentu.
Sejatinya, aspirasi politik seharusnya mencerminkan suatu proses meritokrasi, di mana individu dipilih berdasarkan keahlian, integritas, dan dedikasi mereka pada kepentingan rakyat.
Kebangkitan kesadaran masyarakat akan pentingnya demokrasi yang sehat akan menjadi kunci keberhasilan dalam melawan praktik politik dinasti seperti yang dipertontonkan oleh Jokowi.
Dalam rangka menghadapi ancaman tersebut, perluasan dialog tentang demokrasi dan oprasi kewarasan nalar politik serta pengokohan institusi politik, khususnya dalam konteks Indonesia, juga penting untuk menjamin keberlanjutan demokrasi di negeri ini.
Singkatnya, menilik fenomena politik dinasti ala Jokowi membawa kita pada pemahaman pentingnya melawan praktik abuse of power yang menghalalkan politik dinasti yang telah menciderai demokrasi sejati di Indonesia. Hanya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, menguatkan lembaga, dan menegakkan asas-asas demokrasi, kita dapat menghapuskan politik dinasti dan membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis.(*)
27 Oktober 2023,
Penulis adalah Aktivis 98 dan
Ketua Gerakan Biru Kuning Nasional, GBK