Pendekatan Victim Centered Approach Untuk Pemenuhan Rasa Keadilan Bagi Korban Dalam Kasus Kekerasan Seksual Oleh Oknum Dokter Kandungan di Garut

Eka Anisa Salam S.H M.H Dosen dan Praktisi Hukum (Dok : Istimewa)

GARUT, WARTAPEMILU.COM – Baru-baru ini publik digegerkan dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang sedang marak termasuk kasus yang terjadi di salah satu klinik swasta di Garut yang dilakukan seorang oknum dokter kandungan terhadap pasiennya saat sedang melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Eka Annisa Salam, SH., M.H, Salah satu dosen hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) yang juga berprofesi sebagai Advokat pada Kantor Hukum Prisma Putra & Partner turut menanggapi kasus pelecehan seksual oleh dokter kandungan tersebut, kepada Tim Dari Wartapemilu.com Eka menyampaikan bahwa perbuatan oknum dokter tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan kriminal dan tidak bermoral yang mencoreng marwah profesi dokter.

“Padahal sejatinya dokter adalah penolong bagi pasien yang sedang dalam posisi tak berdaya dan membutuhkan pertolongan medis profesional. Terlebih dalam kasus ini perbuatan dilakukan oleh dokter kandungan kepada pasiennya yang tentunya adalah wanita hamil dimana perjuangan seorang wanita ketika sedang mengadung itu kan sungguh luar biasa, Ini dilecehkan oleh dokternya padahal pelecehan seksual sendiri memiliki dampak yang signifikan terhadap korban, baik secara fisik maupun psikologis yang dapat menimbulkan trauma jangka panjang bagi korban,” Ujar Eka Kepada awak media Rabu (16/04/25) sore.

Selain itu Eka juga menjelaskan bahwa dari persfektif hukum pidana di Indonesia pelecehan seksual diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya:

KUHP memuat beberapa pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku pelecehan seksual, diantaranya Pasal 281, Pasal 289, dan Pasal 290.

Kemudian ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang merupakan regulasi terbaru yang secara khusus mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual.

Dengan adanya regulasi seperti UU TPKS, pelecehan seksual kini mendapatkan perhatian lebih serius dan diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban serta menindak tegas pelaku pelecehan seksual. Dimana sanksi pidananya juga cukup berat.

Pada pasal 6 huruf c, misalnya, tertulis bahwa “setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.”

Sementara itu, pada pasal 12 tertulis “bahwa setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Dalam kasus ini dimungkinkan juga menerapkan pasal pemberat karena seharusnya tugas dokter itu melayani, memberikan layanan kesehatan, tetapi justru yang dilakukan adalah melakukan kejahatan seksual, apalagi jika ternyata perbuatan dilakukan secara berulang lebih dari satu kali dan korbannya lebih dari satu orang.

Mengakhiri wawancara dengan Tim Wartapemilu.com Eka menambahkan bahwa Korban pelecehan seksual memiliki hak untuk melaporkan pelaku ke pihak berwajib. Korban dapat mengajukan laporan ke kepolisian dengan didampingi oleh advokat dari satu kantor hukum maupun lembaga-lembaga bantuan hukum atau LSM yang fokus menangani kekerasan seksual.

“Saya berharap selain sanksi yang proporsional terhadap pelaku nantinya, proses hukum yang berjalan terhadap kasus tersebut juga harus menggunakan pendekatan victim centered approach dimana dalam konteks penanganan pelecehan seksual, pendekatan ini dapat diterapkan dengan cara yang sistematis untuk melibatkan korban dalam setiap interaksi dengan penuh empati dan fokus memastikan hak, keamanan, dan kebutuhan korban sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban,” pungkasnya.

Reporter : IF

Editor : FS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *