PDI Perjuangan dan PBB Memilih Jalan Ideologi, Kokoh Pada Prinsip, Meski Jalan Terjal Hasto Kristiyanto
Sekjen DPP PDI Perjuangan
Jakarta, WartaPemilu – Berlakunya Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan Pemilu. Hal ini disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam sidang yang digelar pada Rabu (08/02/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Yusril yang mewakili Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal pengujian materiil Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem Proporsional Terbuka.
Yusril menyebut saat ini hanya tersisa dua parpol yang memiliki ideologi, yakni PBB dan PDI Perjuangan. Sisanya, tidak berpegang teguh pada ideologi politik.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka pada akhirnya melemahkan partai, pemilih dan Pemilu itu sendiri.
Pakar hukum tata negara ini menyebut bahwa sistem Proporsional Terbuka nyatanya membuat kedaulatan rakyat tak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
PDI Perjuangan secara tegas menyatakan tetap memilih sistem Proporsional Tertutup. Meski delapan fraksi di DPR RI mengambil sikap menolak menggunakan sistem Proporsional Tertutup dan memilih menggunakan sistem Proporsional Terbuka di Pemilu.
Namun demikian PDI P menyambut baik pernyataan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang menyebut sistem Proporsional Terbuka melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ketika beri pandangan dalam sidang di MK.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memberikan apresiasi kepada Yusril yang telah menyampaikan pemikiran kenegarawanan berdasarkan amanat ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Berikut pernyataan Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto;
Proporsional Tertutup Bermodalkan Kaderisasi, Dedikasi, dan Kompetensi; Proporsional Terbuka Modal Popularitas dan Kekayaan
1). PDI Perjuangan memberikan apresiasi kepada Prof Yusril Ihza Mahendra yang telah menyampaikan pemikiran kenegarawanan berdasarkan amanat ideologi Pancasila dan UUD 1945.
“Pemikiran ahli hukum tata negara dan sekaligus Ketua Umum PBB tersebut sangat mencerahkan, dan menampilkan kepakaran Beliau yang dipandu sikap kenegarawanan tentang bagaimana sistem Pemilu tertutup berkorelasi dengan pelembagaan Partai dan menegaskan bahwa peserta pemilu legislatif adalah parpol, bukan orang per orang”.
2). Dengan sikap Prof Yusril tersebut, maka makin jelas bagaimana PDIPerjuangan dan PBB hadir sebagai Partai ideologi.
“Kami menempuh jalan ideologi, sementara yang lain jalan liberalisme. Jalan ideologi meski sering terjal, namun kokoh pada prinsip. Sebab menjadi anggota legislatif itu dituntut untuk menyelesaikan masalah rakyat saat ini, dan merancang masa depan Indonesia melalui keputusan politik. Dalam peran strategis tersebut, maka caleg harus dipersiapkan melalui kaderisasi kepemimpinan”.
3). Secara mudah, proporsional tertutup, caleg bermodalkan keahlian, dedikasi, dan kompetensi melalui kaderisasi; sementara kalau proporsional terbuka, modalnya popularitas dan kakayaan.
“Secara empiris, proporsional terbuka mendorong bajak-membajak kader ala transfer pemain dalam sepakbola; kecenderungan kaum kaya dan artis masuk ke politik; primordialisme; dan ada partai karena ambisinya, lalu ambil jalan pintas merekrut isteri, anak, atau adik pejabat dan menguatlah nepotisme. Logikanya, pejabat akan mengerahkan kekuasaannya untuk caleg dari unsur keluarganya. Di tata pemerintahan, menteri yang memegang sumber logistik dan kekuasaan hukum akan menjadi rebutan. Ini praktik demokrasi elektoral”.
4). Dalam Proporsional terbuka caleg lahir secara instan, akibatnya kepuasan terhadap parpol dan lembaga legislatif selalu berada di urutan paling bawah dari lembaga negara lainnya.
Mengapa? Sebab pragmatisme politik merajalela. Karena menjadi anggota legislatif harus bermodalkan kapital atau dukungan investor politik, maka skala prioritas adalah menggunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal politik, dan kemudian mencari modal dalam pencalonan ke depan. Dalam proses ini terjadi penyatuan fungsi antara politik, bisnis, dan hukum. Semua demi agenda pencitraan, dan kebijakan populisme yang menyandera fiskal di masa depan.(*)
Kamis, 9 Maret 2023