Minggu, April 28, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaHukumHakim MK Tak Langgar Etik Soal Putusan Usia Capres Cawapres, Berikut Penjelasan...

Hakim MK Tak Langgar Etik Soal Putusan Usia Capres Cawapres, Berikut Penjelasan SIAGA 98

WartaPemilu – Perhatian masyarakat tertuju pada sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie.

Seperti diketahui, MKMK dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merespon laporan masyarakat terhadap para hakim MK yang menurut para pelapor melanggar etik, terutama terkait putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru.

Putusan MK yang dibacakan Ketua MK Prof. Anwar Usman adalah mengabulkan sebagian gugatan dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan putusan itu maka batas usia capres-cawapres berubah dari asalnya 40 tahun menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

Menurut para pelapor, putusan itu menguntungkan Gibran Rakabuming Raka yang diusulkan oleh banyak pihak untuk menjadi cawapres. Dan secara kebetulan, Ketua MK Anwar Usman yang juga menjadi hakim dalam perkara tersebut, ada hubungan saudara dengan Gibran Rakabuming.

Para pelapor menilai bahwa hakim konstitusi terlibat conflict of interest dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Mereka pun menyebut bahwa para hakim melanggar etik.

Lantas benarkah para hakim terlibat conflict of interest dan melanggar etik dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023?

Koordinator SIAGA 98 Hasanuddin menegaskan, para hakim MK yang mengadili perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, termasuk Prof. Anwar Usman, tidak melanggar etik. Mereka juga tidak terlibat conflict of interest.

Hasanuddin memaparkan, pelapor dalam perkara tersebut adalah Almas Tsaqibbirru, bukan Gibran Rakabuming Raka. Oleh karena itu, pihak yang berperkara dalam uji materiil adalah Almas Tsaqibbirru.

“Ketua MK Prof. Anwar Usman yang mengadili perkara tersebut tidak ada hubungan saudara dengan Almas Tsaqibbirru sebagai pihak pelapor,” jelas Hasanuddin ketika menjadi pemateri dalam podcast Hamid Nasution TV, tayang Jumat, 3 November 2023.

Artinya, lanjut Hasanuddin, para pelapor terkait putusan MK dalam perkara yang diajukan Almas Tsaqibbirru gagal melihat siapa yang berperkara.

“Semua tahu bahwa yang mengajukan uji materiil ini adalah saudara Almas, bukan Saudara Gibran Rakabuming Raka. Saudara Almas tak ada pertalian darah dengan Ketua MK Anwar Usman sebagai penguji. Justru kalau Prof. Anwar Usman tidak ikut mengadili perkara tersebut, ia bisa disebut melanggar etik karena mengabaikan tugasnya,” katanya.

“Itu yang harus menjadi poin utama dalam melihat putusan MK dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023,” jelasnya.

Hasanuddin menambahkan, materi yang diadili di Mahkamah Konstitusi adalah norma agar UU yang ada tidak menabrak konstitusi atau UUD 1945. Bukan perdata atau pidana yang menyebut orang per orang.

“Tugas hakim konstitusi adalah menjaga konstitusi. Bukan peristiwa pidana dan perdata. Itulah mengapa mereka disebut hakim konstitusi,” paparnya.

Oleh karena itu, putusan hakim konstitusi terkait usia capres cawapres tak hanya soal Gibran, tapi juga menyangkut banyak pihak yang usianya di bawah 40 tahun.

Sudah post factum

Hasanuddin juga mengingatkan bahwa putusan MK bersifat mengikat.

Oleh karena itu, tambahnya, KPU langsung berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI untuk merevisi PKPU terkait aturan usia capres cawapres pasca putusan MK diketok.

“Dan DPR RI, Bawaslu serta DKPP telah menyetujui bahwa PKPU yang mengatur usia capres cawapres diubah menyusul putusan MK tersebut,” jelasnya.

Artinya, kata Hasanuddin, laporan-laporan yang memperkarakan putusan MK terkait usia capres cawapres sudah post factum.

“Sebab, apapun nanti putusan MKMK, tak bisa mengubah putusan MK soal usia capres cawapres,” ujar Hasanuddin.

Sebaiknya, tambahnya, semua pihak menerima putusan MK sebab putusan MK bersifat final.

Selain itu, lanjutnya, semua pihak harus menghormati MK sebab proses pemilihan hakim konstitusi melalui berbagai tahapan dan melibatkan banyak pihak, termasuk DPR RI.

Hasanuddin juga menilai, pihak di DPR RI yang mengusulkan hak angket untuk mempersoalkan putusan MK, bisa disebut emosional.

“Hak angket ditujukan kepada pemerintah sebab terkiat tugas DPR RI dalm bidang penagwasan, tapi tidak bisa mengintervensi bidang yudikatif,” jelasnya.***

Red/K-102

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments