Demokrasi Indonesia dan Tantangan Pemilu 2024 Hindari Jebakan Polarisasi

WartaPemilu – Polarisasi pemilih adalah ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. Fenomena tersebut jelas terlihat dalam Pilpres 2019, dimana hanya dua kandidat Presiden yang muncul, dan masyarakat terbelah secara nyata. Hal serupa disinyalir akan kembali terulang pada Pemilu 2024.

Peneliti dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Lili Romli, M.Si., mensyaratkan adanya lebih dua calon dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) agar Indonesia terhindar dari jebakan polarisasi untuk kedua kalinya.

Bacaan Lainnya

“Oleh karena itu, saya berharap memang jangan sampai kandidat Pilpres itu hanya dua. Meski naga-naganya akan begitu kan, kecenderungan untuk dua pasang calon saja. Kalau dua pasang calon saja, sudah pasti dengan sendirinya polarisasi akan terjadi,” ujar Lili.

Lili menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Outlook 2023 bertajuk ‘Demokrasi Indonesia dan Tantangannya Kedepan’, yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), pada Kamis (19/1/2023).

Meski elite politik seolah bersuara menentang benturan antar kelompok pemilih, yang melahirkan istilah Cebong dan Kadrun pada Pemilu 2019 lalu, tetapi faktanya politik identitas tetap dimanfaatkan para elite itu sendiri.

Lili mengingatkan, saat ini ujaran kebencian di media sosial sudah sama maraknya dengan era Pilpres 2019.

Dia berharap, gambaran koalisi yang samar-samar terbentuk saat ini bisa melahirkan hingga empat calon pasangan dalam Pilpres 2024.

“Syukur-syukur PDI Perjuangan punya calon sendri, Koalisi Indonesia Bersatu tetap bertahan dibawah komando Golkar dan punya calon sendiri. Koalisi Gerindra dengan PKB punya calon sendiri, dan koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat punya calon sendiri. Ada empat,” terangnya.

Lili juga mendorong, calon pemimpin hadir tanpa mengandalkan pencitraan tetapi mengedepankan pertarungan visi dan gagasan. Dari nama-nama kandidat yang muncul saat ini, dia menilai belum ada yang mengarah ke format ideal itu.

Politik Uang Mendominasi

Guru Besar Ekonomi Politik, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Didin S. Damanhuri memberikan sejumlah catatan terhadap praktik demokrasi di Tanah Air, selain soal polarisasi.

Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat ini menyebut praktik jual-beli suara dan politik transaksional yang melekat dalam demokrasi Indonesia menjadi bentuk demokrasi primitif.

“Dimana parpol dan demokrasi menjadi wahana untuk mencari keuntungan finansial, baik di tingkat elite yang menimba dan korupsi politik besar-besaran, maupun di tingkat massa. Karena serangan subuh dan sebagainya, menciptakan kesadaran tentang jual-beli suara di kalangan rakyat,” paparnya.

Seolah tidak mau kalah, lanjut dia, lembaga-lembaga survei politik di Indonesia juga terjebak menjadi tim sukses para kandidat.

Pembajakan demokrasi dan praktik oligarki politik, menurut Prof. Didin, dan ekonomi juga dominan. Sehingga demokrasi seolah hanya prosedural saja, dan meninggalkan substansinya.

“Media sekarang makin lemah untuk mengontrol pemerintahan, sementara media sosial menjadi wahana pembodohan sosial. Buzzer adalah bagian dari penciptaan gejala otoritarianisme itu, yang bisa mematikan kritik dari masyarakat,” lanjutnya.

Di parlemen, kontrol pun semakin lemah karena dalam periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, 85 persen kekuatan politik di DPR berada di sisi pemerintah.

“Awal mula terjadinya gejala otoritarian, koalisi gemuk ini,” ujarnya.

Reformasi Kepartaian

Koalisi gemuk di parlemen, yang membuka ruang otoritarianisme, tidak lepas dari posisi partai yang tidak mandiri.

Menjadi bagian dari pemerintah, diakui atau tidak, adalah sumber pendanaan bagi partai. Partai seolah tanpa ideologi, dan bisa bersatu dengan partai lain bahkan yang pandangannya berseberangan secara politik.

Karena itulah, guru besar Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Prof. Valina Singka Subekti, merekomendasikan adanya penguatan partai politik untuk memperbaiki iklim demokrasi Indonesia ke depan.

“Saya melihat perlunya kita memperkuat parpol dari segi ideologi, rekrutmen dan kaderisasi serta kemandirian politiknya, sehingga dapat mendorong tumbuhnya oposisi yang lebih efektif di parlemen,” ujarnya.

“Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, reformasi kepartaian ini, karena masih belum substantif, masih formalistik,” tambahnya memberi alasan.

Reformasi kepartaian penting, kata Valina, karena kader mereka di parlemen sejatinya adalah pembentuk pemerintahan.

Partai politiklah yang awalnya memilih calon presiden dan calon wakil presiden, calon gubernur, calon bupati atau wali kota dan pejabat publik lain.

“Bahkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik di lembaga independen, itu juga melalui fit and proper test di DPR,” tegasnya.

Tawaran Solusi

Untuk memperbaiki situasi politik kedepan, Valina memandang pentingnya membangun kedewasaan berdemokrasi para elite dan mengedukasi masyarakat melalui literasi politik etis, politik yang berkeadaban, dan demokrasi.

Hal yang sama pentingnya untuk dilakukan adalah menegakkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara. Peran masyarakat sipil juga semestinya dominan untuk mengawal dan menjaga pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu.

Prof. Lili Romli juga mengharapkan kelompok civil society betul-betul memegang komitmen sebagai agen demokrasi. Namun, Lili juga menggarisbawahi pentingnya komitmen dari pemerintah dan elite politik untuk bersama-sama menegakkan demokrasi.

“Ada harapan bahwa dukungan terhadap demokrasi tetap tinggi di masyarakat,” ucapnya.

Lili juga mengaku heran dengan adanya upaya untuk mengembalikan sistem perpolitikan Indonesia ke era Orde Baru, meski reformasi baru bergulir dua dekade.

“Kenapa kita kemudian lupa terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu? Jangan sampai perilaku kita, sikap kita, pikiran kita, set back, ingin mengembalikan seperti suasana di masa Orde Baru,” tandas Lili.(*)

BACA dan Ikuti Berita Menarik ‘Aktif Memberi Kabar’ Kabariku.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *