Ongkos Politik Mahal, Pemerhati Sosial Harap Tak Menjadikan Korupsi Kian Marak

Garut, WartaPemilu – Calon peserta pemilihan umum (Pemilu) sedang mempersiapkan diri mengantisipasi tahun politik 2024. Korupsi pun menjadi persoalan yang tidak dapat lepas dari momen Pemilu.

Setidaknya hal itu disampaikan Eldy Supriadi, aktivis sosial asal Garut bahwa Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengingatkan Penyelenggara Negara (PN) untuk tidak tergiur melakukan praktik tindak pidana korupsi dengan pemicunya mahalnya  ongkos politik.

Bacaan Lainnya

“Ongkos politik atau biaya demokrasi kita ketahui sangat mahal tapi saya meminta agar mahalnya biaya politik ini tidak membuat korupsi kian marak,” ujar Eldy yang ditemui di Bumi Cafe Tarogong Kidul, Garut. Kamis (13/4/2023).

Atas dasar itulah, lanjut Eldy, KPK meminta komitmen Kepala Daerah beserta jajaran dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk berhenti “mencuri uang rakyat”.

“Karena biaya politik calon Bupati/Wakil rata-rata mencapai 25 Milyar. Sementara gaji Bupati/Wakil terpilih 5 tahun dibawah biaya politik,” ujar dia.

Kondisi tersebut akhirnya menjadi peluang terjadinya korupsi sebagai jalan pintas untuk pejabat publik mencari “ongkos tambahan”.

Ia mencontohkan, misalnya di area Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang rawan terjadinya penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah.

Bahkan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pengadaan barang/jasa pemerintah (PJB) yang rawan suap/gratifikasi proyek.

Eldy menyebut, dalam pengelolaan keuangan Desa agar mengedepankan Asas kehati-hatian dalam tugas, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DMPD) serta perangkat desa, khususnya dalam mencegah proses mengarahkan Anggaran Desa untuk proyek dan kerjasama dengan mitra-mitra tertentu dengan menyalahgunakan kewenangan.

Area manajemen ASN sangat rentan terjadinya “jual beli” jabatan dan terjadi suap/gratifikasi, untuk itu Eldy meminta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) menjadi palang pintu agar tidak terjadi jual beli jabatan.

Sebab area optimalisasi pajak daerah rentan terjadinya penggelapan penerimaan pajak dan suap/gratifikasi.

“Pasalnya dengan adanya implementasi UU No.1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan pusat dan daerah (HKPD) meminta pendampingan secara khusus dari Aparat Penegak Hukum (APH),” Eldy memungkas.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *