oleh
Usep Setiawan
WartaPemilu – Nahdlatul Ulama memasuki usia seabad atau 100 tahun. Usia matang bagi organisasi masyarakat yang berangkat dari kebangkitan para ulama yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasballah, dan KH Bisri Syansuri (16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926).
Dalam rumusan Gus Dur, orang NU itu adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia. Semangat kebangsaan dan keindonesiaan menjadi nafas utama NU dalam berbangsa dan bernegara.
Definisi ulama adalah orang yang ahli agama Islam. Ulama itu memiliki pengetahuan luas tentang agama Islam. Ulama menjadi istilah khusus untuk menandai seseorang yang ahli agama Islam. Secara sosiologis, ulama adalah sosok ahli ilmu agama Islam yang memimpin pesantren dan para santri sekaligus tokoh agama dan tokoh masyarakat bagi sekitarnya.
Politik Ulama
Secara sosial politik, ulama bisa masuk ke dalam tiga kategori. Pertama, ulama yang tidak menjadi bagian dari politik praktis. Biasanya ulama kategori ini menjauhkan diri dari pergaulan dengan para politisi di pemerintahan maupun di legislatif pada level daerah maupun pusat.
Kedua, ulama yang tak terhubung secara formal dengan kelompok politik praktis tertentu namun membuka diri untuk bertemu dan dialog sejajar dengan politik praktis. Ulama ini biasanya memberikan dukungan moral kepada politisi yang akan atau sedang duduk di kursi kekuasaan.
Ketiga, ulama yang menjadi bagian dari organisasi politik praktis. Biasanya ulama ini menjadi salah satu pimpinan atau pengurus dari kekuatan politik partisan. Ulama yang mengidentifikasi diri pada bendera politik praktis tertentu yang bermain di ruang kekuasaan.
Ini bukan siapa salah dan siapa benar. Ini pilihan pribadi bagi seorang ulama. Komitmen “Kembali ke Khittah 1926” melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo (1984) yang menegaskan gerakannya tidak terjun ke dalam politik praktis, namun mengutamakan gerakan sosial keagamaan.
Sejak itu, gerakan para ulama di NU sejatinya tidak menjadi bagian dari kekuatan yang berpolitik praktis atau partai politik tertentu. NU sebagai suatu organisasi bersifat independen dari kekuatan politik praktis mana pun. Namun, ada anekdot yang popular di kalangan pesantren, bahwa NU itu cenderung ikut kepada kekuatan politik yang tengah berkuasa.
Secara formal, NU bukan bagian dari partai politik yang pada awal masa reformasi (1998) dideklarasikan para ulama yang menjadi tokoh kultural dan pengurus NU. Pengurus partai itu tak bisa dan tak boleh mengklaim partainya sebagai “Partai NU”. Anggota NU atau nahdliyin tak kewajiban memilih partai tersebut.
Hal ini sering dinyatakan K.H. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU) dalam berbagai kesempatan. Anggota dan simpatisan NU bebas memilih partai politik sesuai pilihannya masing-masing. Gus Yahya tak pernah mengarahkan untuk memilih partai politik tertentu. Ada adagium bahwa NU tak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.
Aspek Ekonomi
Aspek kehidupan masyarakat yang patut diperhatikan kalangan ulama dalam memasuki usia satu abad adalah aspek sosial ekonomi. Sudah sejaumana kondisi sosial ekonomi nahdliyin kini berkembang? Kalau ada gejala mandek, kenapa terjadi kemandekan?
Besaran dan sebaran aset NU pasti besar. Ketika PBNU membentuk Lembaga Pengelolaan dan Pengembangan Aset NU (28 Juli 2011), terekam gambaran aset NU yang berupa tanah, pesantren, masjid, mushola, dan aset serta usaha lainnya dari keluarga besar NU.
Jika kondisi sosial keagamaan kalangan NU kokohnya tak perlu diragukan lagi, kondisi sosial politiknya kalangan NU relatif lebih cair dan berada di mana-mana, maka pengembangan di bidang sosial ekonomi tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah terbesar.
Sejauhmana NU mengembangkan aset yang dimilikinya untuk kemajuan ekonomi NU dan nahdliyin di semua tingkatan. Misalnya, NU belum memiliki usaha yang signifikan yang bergerak di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Padahal mayoritas nahdliyin hidup di perdesaan yang lekat di sektor-sektor tersebut. NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, dengan jumlah anggota sekitar 95 juta jiwa (2021).
Mengisi satu abad NU, mengembangkan usaha skala besar pada berbagai sektor di bawah payung lembaga NU, atau mengkaitkan kelembagaan NU pada badan usaha ekonomi tertentu, atau mendorong kebangkitan ekonomi anggota NU menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan.
Inilah tantangan terbesar NU dalam usianya yang kini genap seabad. Membangun ekonomi umat dengan semangat keadilan sosial dan kemakmuran bersama adalah tantangan kekinian NU. Pembangunan ekonomi berdasar falsafah “rahmat bagi semesta alam” kita dorong bersama.(*)
Jakarta, 3 Februari 2023
Penulis adalah Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.
Artikel telah tayang di Kabariku.com