Jumat, April 26, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaKPUMahkamah Konstitusi Putuskan Wewenang Daerah Pemilihan Pemilu Kepada KPU

Mahkamah Konstitusi Putuskan Wewenang Daerah Pemilihan Pemilu Kepada KPU

Jakarta, WartaPemilu – Mahkamah Konstitusi (MK) RI memutuskan, penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) Pemilihan Umum (Pemilu) kembali dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selama ini, Dapil untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi, ditentukan bersama oleh DPR dan Presiden, yang secara prinsip merupakan peserta Pemilu itu sendiri.

Aturan mengenai penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi sebagaimana diatur dalam Pasal 187 ayat (5) serta Pasal 189 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) inkonstitusional bersyarat.

Putusan Nomor 80/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut dibacakan pada Selasa (20/12/2022) di Ruang Sidang MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan ketentuan norma Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU’,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan.

Selain itu, Anwar juga menyebut ketentuan norma Pasal 189 ayat (5) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.

Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur didalam Peraturan KPU.

“Menyatakan Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tambah Anwar.

Penentuan Dapil Masuk Tahapan Pemilu

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menilai pengaturan tentang tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 167 ayat (4) UU Pemilu, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan Pemilu yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Sejalan dengan itu, secara normatif, UU Pemilu mengatur penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum merupakan tugas KPU. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Berkaitan dengan hal ini, ketentuan Pasal 12 huruf d UU Pemilu menyatakan, “KPU bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilihan umum”.

Jika ketentuan Pasal 167 ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017 dibaca dalam hubungan sistematis, konstruksi normanya secara sederhana dipahami “pelaksanaan tahapan pemilihan umum berupa penetapan daerah pemilihan merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum”.

“Bilamana daerah pemilihan ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan daerah pemilihan. Padahal, penetapan daerah pemilihan merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilihan umum yang berada dalam lingkup tugas KPU,” jelas Saldi.

Dengan demikian, Saldi melanjutkan, selama penetapan daerah pemilihan menjadi bagian dari Lampiran undang-undang, KPU akan kehilangan peran secara signifikan dalam penentuan daerah pemilihan.

Bagaimanapun dengan diaturnya daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang, penetapan daerah pemilihan tidak lagi menjadi bagian dari tugas KPU.

Realitas demikian, menurutnya, menunjukkan terdapat contradictio in terminis antara norma yang mengatur tentang penetapan daerah pemilihan dan wewenang KPU untuk menetapkan daerah pemilihan dengan ketentuan yang mengatur tentang daerah pemilihan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi.

Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menuntut adanya jaminan kepastian hukum terhadap hal-hal yang diadopsi dalam undang-undang.

Kembali pada Peraturan KPU

Saldi juga menerangkan, dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum.

Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU Pemilu dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU.

Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU UU Pemilu.

“Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri,” ujarnya.

Dalam hal ini, Saldi menambahkan, UU Pemilu cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD.

Sementara itu, sambungnya, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU.

“Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang,” papar Saldi.

Namun demikian, Saldi melanjutkan, hal terpenting yang harus dilakukan dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.

Apabila dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, mengembalikan tugas penentuan daerah pemilihan secara utuh kepada KPU, termasuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi dapat menjaga kualitas penyelenggaran pemilihan umum.

Terkait dengan hal tersebut, mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independesi penyelenggaraan pemilihan umum.

“Sebab, bilamana terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan bagi anggota DPR,” jelasnya.

Terlebih lagi, Saldimenguraika, dalam perkembangan penentuan daerah pemilihan disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi di DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR.

“Karena itu, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over represented) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under represented),” urai Saldi.

Saldi mengungkapkan apabila fakta tersebut tidak diperbaiki, penentuan jumlah kursi akan semakin menjauh daberdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, agar ketentuan dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU Pemilu termasuk Lampiran III dan Lampiran IV berkenaan dengan pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi agar tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Lanjutnya, Mahkamah tidak mempunyai pilihan dan demi mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil, menyatakan bahwa daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, termasuk untuk DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU sebagaimana dimuat dalam amar putusan a quo.

“Karena penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi diatur dalam Peraturan KPU, maka implikasinya Lampiran III UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPR RI dan Lampiran IV UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon perihal Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil adalah beralasan menurut hukum,” tandas Saldi.(*)

BACA juga berita menarik lainnya di Kabariku.com ‘Aktif Memberi Kabar’

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments