Catatan 77 Tahun Indonesia Merdeka: ‘Makelarisme’ Pembunuh Kreativitas Anak Negeri

WartaPemilu – 17 Agustus 2022, kita merayakan bersama Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77. Diawali momentum pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan Bung Karno, atas nama bangsa Indonesia bersama Bung Hatta, menjadi tonggak berdirinya suatu bangsa dan negara yang unik: negara kepulauan terdiri lebih 17 ribu pulau dengan beragam suku bangsa, beragam budaya, adat istiadat dan bahasa.

Namun semuanya telah berikrar satu: Indonesia! Ikrar yang ditegaskan 17 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Bacaan Lainnya

Satu hari kemudian, 18 Agustus 1945, naskah Proklamasi tersebut disempurnakan dalam mukadimah konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Di mukadimah tercantum cita-cita bangsa Indonesia, sikap terhadap kemanusiaan, dunia internasional dan dasar negara, Pancasila.

Selanjutnya bangsa Indonesia harus melalui transisi berat revolusi kemerdekaan ketika Belanda masih berkeras  untuk menjadi penguasa di negeri yang dijajahnya.

Namun, semangat kemerdekaan dan dukungan merdeka dari dunia internasional akhirnya menjadikan Republik Indonesia berdiri tegak dan Bangsa Belanda harus pulang ke negaranya.

Kemudian Republik Indonesia memasuki masa transisi berikutnya: membentuk pemerintahan dan proses bernegara dengan mengalami fase kepemimpinan parlemeter setelah Pemilu 1955 hingga demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dimasa demokrasi terpimpin itulah, Presiden Soekarno banyak mengutus banyak pemuda, pelajar dan mahasiswa untuk menuntu ilmu di luar negeri, khususnya di Eropa, agar kembali ke Indonesia dapat bekerja membangun negerinya sebagai teknokrat-teknokrat yang mampu mendorong proses modernisasi industri untuk dapat segera bersaing dengan negara-negara industri maju.

Sayang, Bung Karno harus merelakan dirinya dikudeta oleh konspirasi Soeharto dengan dunia barat demi menjaga keutuhan bangsa agar tidak runtuh seperti dampak perang paregreg yang meruntuhkan Majapahit.

Namun Soeharto berpikiran lain, setelah menyerahkan kekayaan alam Papua (Irian Barat) dengan segala tembaga, emas dan uraniumnya, Soeharto hanya menjalankan tugasnya melakukan politik etis demi para penyokongnya.

Bangsa Indonesia yang dicita-citakan berdaulat, berdikari dan berkepribadian, sepenuhnya berubah arah menjadi bangsa konsumeris.

Para petani di pedesaan menjadi korban penghisapan dari ‘makelarisme’ alat-alat pertanian dan pupuk urea yang mempercepat kematian umur kesuburan tanah.

Para nelayan hanya dijadikan obyek lukisan di tengah menggilanya pukat harimau, dan masyarakat perkotaan didorong menjadi konsumeris-hedonis.

Jadilah Soeharto menjadi Presiden rasa Gubernur Jenderal selama 32 tahun dengan instrumen kekerasannya.

Tidak ada lagi cita-cita menjadi bangsa yang besar, industri sepenuhnya diserahkan kepada konglomerasi, cukup hanya sekedar memberi prosentase kepemilikan, keuntungan dan uang jago bagi Soeharto, keluarga dan kroninya.

Prof. Dr. B.J. Habibie Dipl.Ing diperkenankan pulang, untuk membuat seolah-olah industri penerbangan akan maju.

Tetapi, sampai hari ini langit komersial kita masih dipenuhi Boeing, Airbus dan terkini pesawat baling-baling ATR!

Sungguh mengenaskan! Apa yang pernah didorong oleh Nurtanio sampai Habibie agar setidaknya kita mampu membuat pesawat sendiri hanya menjadi kebanggaan semu.

Media hanya dipaksa mempertontonkan ekspor dari CN 235 sampai CN295 dalam jumlah belasan unit, sementara penerbangan kita tidak dipaksa untuk menggunakan pesawat buatan P.T. Dirgantara Indonesia.

Padahal, kita membutuhkan sangat banyak pesawat untuk penerbangan jarak dekat dan bisa disediakan oleh PTDI. Proyek N250 Gatotkaca juga dimangkrakan.

Namun kebijakan Menteri pasca reformasi tidak berubah: makelarisme! Ga mau pusing tentang bangsa ini harus maju.

Terkini, Menko Marves, Menko Perekonomian, Menteri Investasi dan Menteri BUMN hanya terkesan ‘lips service’ tipu-tipu. Orientasi masih impor. Apalagi di masa pandemi.

Menyingkirkan dokter Terawan hanya untuk memuluskan makelarisme alat tes sampai vaksin yang kesemuanya impor. Kualitas jeblok tapi lebih mahal ga masalah, seperti yang terjadi  perbandingan sinovac dan astrazaneca.

Itu belum lagi ketika harga sawit jatuh, harga minyak goreng membubung tinggi dan negara tidak punya pabrik strategis minyak goreng! Serahkan semua pada swasta.

Saya teringat banyaknya pabrik gula negara ditutup dan pabrik gula swasta meraup untung dengan nyaris memonopoli industri gula hulu-hilir selain permainan importir.

Beras berlimpah tapi diam-diam Menko memprakarsai impor beras, tidak peduli nasib petani. Mungkin berpikir cukup belanja suara harga murah di Pemilu, rakyat lupa dosa besar abadinya.

Saya masih lebih hormat ke Menteri Pertahanan yang melanjutkan proyek Tank Harimau, Panser Anoa, Rantis Komodo dan Rantis Maung sebagai bagian dari kendaraan tempur TNI.

Walaupun juga berharap kapal selam, fregat dan destroyer sepenuhnya bisa dibangun di PT. PAL. Pesawat tempur bisa diproduksi di PTDI dengan lisensi.

Brazil saja sudah maju dengan Embraer-nya. Baik edisi pesawat latih, pesawat tempur dan pesawat jet komersial.

Kita masih berharap semakin banyak inovator yang dapat membuat pupuk organik untuk pertanian di pedesaan. Membuat pakan ternak sehat secara mandiri dikelola BUMDES. Tidak lagi belanja dari pabrikan yang bertahun-tahun menjalankan konglomerasi dengan para makelar.

Dan juga kita mengimpikan agar teknologi informasi kita segera punya awan sendiri. Bukan produk dari industri global dengan terus berkamuflase. Teknologi digital tidak lagi tergantung pada merek tertentu, tetapi semakin kompetitif dan tidak menjadi investasi untuk monopoli.

Tapi kalau ini dibicarakan dengan kaum makelaris, ya pasti, meremehkan kemampuan bangsanya. Orientasinya hanya uang cepat untuk dirinya.

Akibatnya, jadilah generasi potensial kita justru berkiprah di negara maju, karena tidak ada ruang dari makelaris penerus Soeharto seperti keempat menteri tadi.

Sudah cukup kita tertipu seperti Proyek KCIC. Akhirnya harga lebih mahal dari kompetitor tender ketika itu, kita dijebak hutang, dan dipaksa menggerus APBN lewat Penyertaan Modal Negara.

Gara-gara menteri tamak, rusak kita semua.

Kita bisa berharap bahwa momentum hari kemerdekaan ini Presiden Joko Widodo dapat mengembalikan visi nawacitanya dengan semangat berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Semoga saja!

Jakarta, 16 Agustus 2022

Abe Tanditasik
Sekretaris Jenderal
Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN – REPDEM)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *