Refleksi Konflik PBNU versus PKB: Muhaimin, Darah dan Jiwanya adalah Nahdatul Ulama

Penulis
Galih F.Qurbany
Aktivis NU dan aktivis 98

Jakarta, WartaPemilu  Perhelatan dan perbedaan pandangan soal etika politik serta pandangan taktis politis terhadap pilihan dan dukungan capres dan cawapres antara PBNU dan PKB menjadi fenomena menarik untuk dicanangkan secara kritis dalam tulisan ini.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks yang lebih luas, perbedaan pendapat dalam politik adalah suatu rahmat dan hal yang wajar bahkan perlu, mengingat bahwa demokrasi didasarkan pada adanya diferensiasi keinginan publik yang sehat dan beragam.

Namun, perbedaan pandangan antara PBNU dan PKB memiliki implikasi yang lebih kompleks jika diamati dalam cakrawala politik Indonesia. Karena kedua organisasi ini memiliki akar dan pengaruh kuat di masyarakat. Dimana NU adalah organisasi sosial keagaamaan terbesar, tidak saja di Indonesia tapi di dunia, sementara PKB adalah partai papan atas yang bercorak ideologi religius-nasionalis.

Dampak dari perseteruan akibat perbedaan pandangan yang mengarah pada konflik, dapat kita ketahui dari statemen ketum PBNU yang bisa dipandang merefresentasikan keseluruhan nahdliyin dengan mencoba menegasikan antara NU dan PKB, bahwa : “PKB memang dilahirkan dari Rahim NU namun PKB bukanlah NU”. “PKB bukanlah representasi NU”,. “Tak ada Capres dan Cawapres atas nama NU”, “PBNU meminta parpol untuk tidak menjadikan NU sebagai alat kepentingan politik identitas”.

Semua statemen yang disampaikan ketum PBNU memang bukan tanpa alasan setidaknya dapat kita analisis dari sisi empirk maupun teoritis :

Pertama Mengklarifikasi Identitas PKB:
“PKB memang dilahirkan dari Rahim PBNU namun PKB bukanlah NU”. Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa PKB memiliki hubungan erat dengan NU dan bahwa pemisahan antara keduanya kurang mencerminkan kenyataan.

Dalam pandangan ini, PKB bisa dianggap sebagai wadah politik yang secara alamiah mencerminkan aspirasi dan nilai-nilai yang ada di NU, sehingga pemisahan yang diusulkan oleh NU dapat dianggap sebagai upaya untuk mengaburkan keterkaitan yang ada.

Namun Pernyataan tersebut juga dapat memperkuat pemahaman bahwa PKB, meskipun memiliki akar dari NU, adalah sebuah entitas politik yang berdiri sendiri. Ini penting untuk mengklarifikasi bahwa PKB adalah partai politik yang terpisah dari organisasi keagamaan NU.

Dalam konteks ini, dampak empirisnya adalah menjernihkan posisi PKB sebagai partai politik independen.

Kedua : Menghindari Penggunaan Identitas NU untuk Kepentingan Politik:
:“PBNU meminta parpol dalam hal ini PKB, untuk tidak menjadikan NU sebagai alat kepentingan politik identitas” Pernyataan tersebut juga mencoba untuk mencegah penggunaan identitas NU untuk kepentingan politik tertentu tak terkecuali PKB.

Hal ini mencegah politik identitas yang dapat memecah belah umat dan masyarakat. Dalam praktiknya, hal ini dapat mengurangi potensi polarisasi berdasarkan afiliasi agama.

Namun pemisahan identitas agama (NU) dari identitas politik PKB adalah gagasan bahwa identitas agama merupakan bagian integral dari identitas politik. Dan bagi PKB mungkin berpendapat bahwa penggunaan identitas agama dalam politik adalah hal yang wajar dan tidak selalu merusak persatuan, karena nilai-nilai agama terutama ideologi ahlus sunnah waljamaah dapat menjadi pedoman yang kuat dalam pengambilan keputusan politik dan dapat menganggap bahwa PKB seharusnya mewakili dan mencerminkan identitas agama Islam (Ideologi Ahli sunnah waljamaah ala NU) dalam politik.

Dalam pandangan ini, menghapus identitas agama dari politik dapat dianggap sebagai penyangkalan hak bagi kelompok politik berbasis agama untuk diwakili secara efektif dalam ranah politik.

Berargumen bahwa identitas agama memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam.

Oleh karena itu, mempertahankan identitas agama dalam politik seperti PKB dapat dianggap sebagai cara untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh PKB mencerminkan aspirasi ideologi agama yang dipegang oleh sebagian besar penduduk terutaa nahdliyin.

Ketiga : Memperkuat Otonomi Organisasi:
”PKB bukanlah representasi NU, menegaskan bahwa NU dan PKB adalah entitas yang berbeda, pernyataan tersebut juga memperkuat otonomi masing-masing organisasi.

Ini dapat memiliki dampak positif dalam menjaga integritas dan independensi masing-masing entitas. memperkuat pemisahan antara NU dan PKB mungkin berarti bahwa organisasi politik (PKB) dan organisasi keagamaan (NU) memiliki prioritas yang berbeda.

Namun dalam beberapa kasus, hal ini bisa mengarah pada ketegangan atau pertentangan antara aspirasi politik dan keagamaan, yang pada gilirannya dapat mengganggu harmoni internal dan menyebabkan perselisihan yang merugikan.

Dengan demikian, pernyataan Ketum PBNU memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk pemahaman tentang hubungan antara organisasi keagamaan seperti NU dan partai politik dalam hal ini PKB, yang dharapkan tidak boleh menjadikan politik identitas dalam ranah aksinya.

Pernyataan diatas tentu tidak ada salahnya, namun penjelasan tentang pemahaman nilai-nilai Islam terutama nilai-nilai ahlus sunnah waljamaah dalam politik PKB dan pentingnya menjaga integritas organisasi sehingga mengesankan antara NU dan PKB berada pada posisi diametral yang berhadap hadapan, yang menafikan fakta irisan historis dan ideologis.

Padahal sejatinya PKB dalam mabda syiasiah Partainya bisa dibilang sama dan identik dengan NU, yang tentu saja mengakibatkan PKB tidak mungkin bisa memisahkan peran ideologi politik ahlussunah wal jamaah pada misi politik yang diembannya dan kepentingan pragmatis politis disis lain, untuk meraup sebesar besarnya keuntungan dari basis politik nahdliyin sebagai organisai yang melahirkannya, yang merupakan fakta tak terbantahkan dalam perjalanan historisnya.

Tentu bagi PKB perbedaan cara pandang memainkan peran strategis ideologis maupun taktis politis cenderung dimaknai sangat subjektif bahwa PBNU telah membuat garis demarkasi yang berlebihan, melakukan pembatasan tanpa arah, terutama saat Gus Muhaimin Iskandar sebagai Ketum PKB menjadi salah satu kontestan cawapres, yang secara geniun memiliki gen/ nasab yang tegas sebagai trah Nahdliyin dan bahkan menjadi pelaku sejarah lahirnya PKB dari Rahim NU pada tahun 1998, tentu sangat sah mengambil manfaat dan menjadikan basis nahdliyin sebagai kekuatan politik PKB.

Perhelatan yang kian meruncing tentu memberikan dampak positif dan negative tidak hanya berhenti pada internal kedua organisasi tetapi perseteruan dan perbedaan pandangan NU vs PKB juga mencakup lingkup yang lebih luas.

Rumitnya situasi ini terlihat dari sejumlah pihak dapat mengalami kerugian dan keuntungan disisi yang lain, dari perbedaan pandangan antara PKB dan PBNU. Dalam hal ini, kerugian dan keuntungan dapat dianalisis pada tiga level, yakni individu, institusi, dan masyarakat.

Pertama, di tingkat individu, kerugian dan keuntungan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti kedudukan dan peran setiap individu dalam organisasi, ideologi politik, dan aspirasi politik yang diusung. Para pemimpin dan anggota kedua organisasi dapat merasa tertekan atau kecewa dengan perbedaan pandangan yang berlarut-larut. Dalam beberapa kasus, perbedaan tersebut dapat menyebabkan mereka kehilangan legitimasi, popularitas, atau bahkan posisi structural maupun politik.

Sebaliknya, ada pula individu yang mungkin mengambil keuntungan dari konflik tersebut, misalnya dengan terus menghembuskan ketajaman sentimental agar kedua organisasi yang berkonflik menjadi terpuruk dan bahkan saling menjatuhkan, maka dalam keadaan seperti itu kekuatan lain akan mengambil manfaat dan keuntungan atas ekses kebingungan anggota organisasi atau umat dan pengikutnya, yang berakibat hang out dari suasana membingungkan untuk sekedar menyelamatkan kepentingannya ditempat lain.

Kedua, di tingkat institusi, perseteruan antara PKB dan PBNU bisa merugikan kedua organisasi. Perpecahan atas perbedaan taktik dan strategi politik dan perdebatanya dalam mengusung dan memilih koalisi dan pasangan calon presiden 2024, dapat melemahkan kinerja dan daya saing PKB dalam kontestasi politik, serta menodai reputasi maupun citra di mata masyarakat umum dan konstituennya terutama yang masih belum secara penuh puas dengan Langkah politik yang diambil PKB. Terlebih jauh PKB juga akan kehilangan energinya untuk melakukan konsolidasi partai menuju kemenangan.

Semntara disisi lain, NU sebagai organisasi sosial keumatan akan dianggap terlalu dalam memainkan peran diluar domainnya, karena membicarakan politik praktis dan dukung mendukung, termasuk atas sikap setuju atau tidak setuju soal peran koalisi dan pencapresan adalah pelanggaran atas komitmen yang dibangun terutama terhadap khitah 1926.

Karena disisi lain dapat ditangkap adanya indikasi dan tendesi NU tidak terlalu setuju dengan Langkah politik dan pilihan PKB dalam memainkan koalisi taktis dengan figure yang dianggap bersebrangan garis ideologi politiknya dan dianggap bidah /subhat jika tergabung dengan koalisi yang selama ini mengunakan politik identitas.

Namun demikian, perbedaan pandangan juga bisa menjadi keuntungan, jika kedua organisasi mampu mengelola hal ini dan menjadikannya sebagai momentum untuk menyisir serta memperkuat struktur dan visi politik untuk mencari jalan kemaslahatan. Selain itu, penyelesaian perbedaan yang bijaksana dan konstruktif dapat meningkatkan otoritas moral dan integritas kedua organisasi.

Ketiga, di tingkat masyarakat terutama nahdilyin, perseteruan PKB dan NU juga memiliki aspek kerugian dan keuntungan. Kerugian yang paling nyata adalah adanya fraksi dan polarisasi dalam masyarakat kelompok pendukung.

Ketegangan dalam pandangan politik yang meluas ke masyarakat NU atau masyarakat umumnya bisa menciptakan perpecahan sosial, kurangnya kepercayaan publik, dan gangguan terhadap stabilitas sosial dan politik, mengingat NU yang nota bene adalah organisasi keagamaan terbesar tidak saja di Indonesia tapi juga ditingkat global yang sepak terjangnya gandrung menjadi referensi publik, sehingga sekecil apapun riak yang ditimbulkan memberikan dampak sosial dan politik.

Namun disisi yang lain, perbedaan pandangan ini juga memiliki potensi menumbuhkan sikap kritis dan partisipatif dari masyarakat, sebagai konsekwensi organisasi islam terbesar yang berpontensi menimbulkan skala kegaduhan yang memikat perhatian.

Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan dan debat politik penting untuk menyeimbangkan kepentingan yang beragam dan mendorong perubahan yang inklusif serta berkelanjutan.

Dari ketiga level tersebut dapat dilihat bahwa kerugian dan keuntungan yang timbul dari perbedaan pandangan terkait strategi memenangkan capres dan cawapres antara PBNU dan PKB berkaitan erat dengan kemampuan kedua organisasi untuk mengatasi konflik secara efektif dan konstruktif.

Mengingat betapa penting keterlibatan NU sebagai organisasi terbesar sosial keumatan dan PKB sebagai parpol papan atas bagi perkembangan politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Ada urgensi untuk memperkokoh hubungan antara kedua organisasi dan mengelola perbedaan pandangan secara bijaksana.

Penulis berharap ada dialog yang terbuka, komunikasi terus menerus, yang menekankan pada tujuan pokok dan nilai komitmen bersama, dan dapat menjadi cara untuk meredam perseteruan dan perbedaan cara pandang taktis maupun strategis menjadi arah kerja sama yang menguntungkan semua pihak.

Dalam proses ini, baik para pemangku dan para tokoh sebagai pelaku, institusi PKB dan NU, maupun nahdliyin / masyarakat secara luas memiliki peran yang signifikan untuk berkontribusi dalam menciptakan kondisi politik yang lebih kondusif, demokratis, dan inklusif.

Adalah sangat penting membangun hubungan yang sinergis dan harmonis antara NU dan PKB, mereka bisa bekerja sama dalam mengusung kepentingan stretegis maupun taktis termasuk mengusung pencalonan Capres dan Cawapres, meskipun dengan cara yang bereda dan menghindari sekecil apapun benturan.

Pengibaratan seperti rel kereta api, berjalan searah namun tetap menempatkan idependensi, entitas masing masing namun tetap memiliki tujuan yang sama yaitu menjadikan bangsa dan negara ini berdiri kokoh, lebih baik , mampu menciptakan keadilan dan pemerataan sebagai jawaban atas harapan umat.

Dengan demikian pengamengambilan keputusan dan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi bangsa harus menjadi fokus utama, dengan kata lain bahwa kemaslahatan umat, bangsa dan negara harus menjadi proyeksi yang menafikan kepentingan sektoral.

Secara keseluruhan, tugas mengelola perbedaan pandangan antara PBNU dan PKB bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi melalui tekad dan komitmen yang kuat, baik individu, organisasi maupun Nahdliyin /masyarakat dapat merasakan manfaat yang positif dari pemecahan masalah ini.

Selama proses ini, partisipasi semua pihak sangat diperlukan untuk memastikan bahwa perhelatan sengit antara NU dan PKB hanya akan menjadikan kerugian menjadi sekecil mungkin dan keuntungan tercapai dengan maksimal.

Akhirnya, jika para pemangku kepentingan menjadikan perbedaan pandangan sebagai landasan untuk keterlibatan yang lebih substantif dan hermeneutik, bukan perpecahan, maka NU dan PKB, termasuk bangsa Indonesia akan memiliki masa depan yang lebih demokratis, inklusif, dan sejahtera.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *