Yogyakarta, WartaPemilu – Berikut WartaPemilu berkesempatan wawancara khusus dengan In’am eL Mustofa S.Ag., M.I.P., Direktur eksekutif LeSPK Yogyakarta, bertajuk “Dari Proklamasi Kemerdekaan, Pemilu 2024, Amandemen dan Gibran Rakabuming”.
Redaksi : Menyongsong kemerdekaan RI. Saat berasa sangat special karena bertepatan dengan tahun politik, pemilu menuju pergantian kepemimpinan. Bagaimana anda memaknainya?
In’am : Yang paling penting adalah mengisi perolehan kemerdekaan dengan cara membahagiakan, mensejahterakan dan memerdekaan orang yang paling dekat pada kita, yakni keluarga baru kemudian masyarakat dan pada umumnya bangsa dan negara jika memiliki kemampuan dan akses (terutama perannya dalam berbangsa dan negara).
Pada keluarga inti sejak dini ada kesadaran untuk saling menghormati diantara anggota keluarga untuk berkembang, berkomunikasi menyampaikan pikiran dan mendapatkan fasiltas minimum pangan, sandang dan papan.
Jika ketiganya terpenuhi berkembang pada pemenuhan akan Pendidikan, kesempatan untuk berkembang secara social, ekonomi dan lain-lain.
Pada setiap ekosistem mesti ada yang bertanggung jawab untuk membuat relasi antar anggota ekosistem tersebut memungkinkan terjadinya kesempatan yang sama.
Maka relasi itu sedemikian rupa memerlukan adanya kesepakatan dan ketentuan yang dibuat Bersama serta ditaati. Baik pada lingkup keluarga sebagai lingkaran terkecil dan bangsa negara sebagai lingkaran besar.
Keluarga ada Ayah dan Ibu, sementara bangsa dan negara ada Presiden dan elit politik lain.
Dalam kesetaraan pucuk pimpinan memberi contoh bagaimana menjalankan rule of game atau kesepakatan yang telah dibuat.
Redaksi : Apa point penting penting menuju Bahagia, sejahtera dan merdeka?
In’am : Patut kita syukuri rakyat diberbagai daerah masih bisa dengan suka cita menyambut kemerdekaan dengan berbagai acara yang membahagiakan, unik dan lucu. Kemudian diakhiri dengan upacara kemerdekaan disemua level.
Kini yang perlu disemai adalah memberi arti kemerdekaan dengan semangat untuk berdiri diatas kaki tangan sendiri, berdikari! itu intinya.
Pencapaian kemerdekaan tahun 1945 adalah karena ada keyakinan akan potensi diri anak bangsa untuk merebut kemerdekaan. Bermodal kecerdasan dalam berpikir hingga mewujud untuk bersepakat bersatu mengusir penjajah kolonial dalam bentuk apapun.
Pekik Soekarno membahana, ganyang Neokolim! Dalam kepemimpinan Ir Soekarno Indonesia memiliki tekad meraih kemerdekaan untuk menjadi bangsa bermartabat, cerdas secara pikiran, makmur dan adil secara ekonomi serta memiliki peran dalam membangun peradaban dunia.
Nah, kita sekarang kehilangan semangat untuk berdikari. Rasa percaya diri dalam pergaulan internasional turun, bahkan nyaris gagal tidak memiliki kemampuan untuk memberi narasi pada dunia agar perdamaian bisa dicapai secara Bersama.
Mungkin saja kita sekarang sedang salah arah orientasi dalam berbangsa dan bernegara, sehingga kian hari justru makin banyak masalah tidak terselesaikan secara fundamental. Tata aturan ekonomi, tata aturan politik, tata aturan social keagamaan dan lain-lain, pinjam istilah bapak Presiden Jokowi, “makin ruwet”.
Sukses story China saat ini bisa menjadi inspirasi, apa itu? China sukses menemukan watak kolektif bangsanya yang tidak kenal menyerah dan keterikatan keluarganya yang kuat, mengembangkan budaya local serta karakter lingkungan dan lokasi.
Dengan demikian China mampu mengembangan peran strategisnya sebagai bangsa yang kini menjelma sebagai kekuatan dunia, padahal tahun 1950-1965 china belum begitu diperhitungkan dalam percaturan internasional.
Kini kualitas SDM berkembang cepat dengan kualitas unggul, literatur yang tersebar dan berbagai jurnal ilmiah internasional kini didominasi oleh orang-orang China.
Watak kolektif yang tak pernah menyerah ini diserap dijadikan modal awal untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Membangun kualitas manusianya dengan sarana pendidikan yang tidak hanya memadai tapi bermutu tinggi. Maka jangan heran biaya APBN China untuk Pendidikan senantiasa tinggi.
Jangan menyerah untuk menjadi pandai, temukan potensi anda apa yang bisa dikembangkan dan negara akan memfasilitasi.
Begitu kira-kira doktrin yang ditanamkan Rejim Deng hingga Jinping. Kita memang tidak bisa meniru China, namun bisa belajar cara China yang sebenarnya kita bangsa Indonesia bisa melakukan sendiri.
Minimal kita sudah memiliki landasan konstitusi yang begitu luhur dalam pembukaan Undang-undang dasar.
Redaksi : Ok, bisa dipahami. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa semnagat yang ada dalam pembukaan UUD tersebut ternyata kini makin jauh dari harapan. Bahkan sejak amandemen 1999-2002 memiliki banyak problem.
Sebagaimana Bung In’am katakan tadi, menjadikan bangsa ini disorientasi. Tentu saja ini perlu segera dihindari. Beberapa kali Ketua MPR juga memberi penjelasan bahwa konstitusi pun bisa diubah jika tidak sesuai denga napa yang menjadi kebutuhan rakyat.
Bagaimana penjelasan lanjut bung In’am?
In’am : Kajian yang pernah saya lakukan saat masih nyantrik di magister Ilmu Pemerintah UMY Yogyakarta, serta diskusi berkala dengan teman-teman di Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan ( LeSPK Yogyakarta) bahwa paparan amandemen yang telah diputuskan oleh para elit parpol sudah tidak mencerminkan semangat kemerdekaan sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan dan isi UUD 1945.
Paham liberal Nampak lebih kental sekali dalam isi terbaru konstitusi kita. Konsukuensi jelas, yakni bahwa bangsa ini berjalan tanpa jati diri sebenarnya yang dimiliki. Dalam arti gagal mendefiniskan kembali kekayaan kultural sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila lantas dengan serta merta mengcopypaste cara-cara dan budaya yang dimiliki oleh bangsa lain.
Gotong royong, rasa senasib sepenanggungan, tenggang rasa sudah tidak menemukan tempat untuk berkembang menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara, padahal nilai tersebut bisa menjadi landasan dalam merumuskan konstitusi dengan segala turunannya.
Hal ini sangat memprihatinkan karena sadar atau tidak sadar elit partai dalam merubah undang-undang dasar sudah kebablasan dari cita-cita para pendiri bangsa.
Secara substansial Indonesia dengan konstitusi yang ada sekarang sudah menjadi negara penganut liberal (murni), ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Bajunya Pancasila isinya liberalism, kacau. Maka tata aturan bernegara atau sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi rumit, alhamdulillah tidak ruwet (sambil ketawa ringan).
Relasi antar Lembaga negara seperti tidak ada, sehingga memberi kesan berjalan sendiri-sendiri. Seperti terputus antara dengan yang lain, padahal konstitusi yang kemudian mewujud dalam lembaga negara merupakan identitas utuh suatu negara.
Satu contoh saja, ini negara adalah berdasar rechtstaat, memang mengadopsi barat tetapi oleh para pendiri bangsa dipakai tidak semata berdasar pada logika dan ilmu pengetahuan namun juga berlandaskan pada religiusitas yang semula tidak dipakai di negara-negara barat.
Kalau tidak hati-hati kurikulum Pendidikan lambat laun akan menghilangkan aspek religiusitas, rohani dan agama. Dengan demikian bangsa ini cepat atau lambat akan kehilangan arah secara radikal, jika tidak ada kemauan untuk meninjau ulang amandemen UUD.
Redaksi : Berarti intinya kembali ke UUD 1945 asli, begitu?
In’am : Tidak demikian. Yang paling dasar para pengambil keputusan harus ada kemauan secara sabar untuk evaluasi terhadap dasar-dasar benegara dan berbangsa kita.
Memang ini membutuhkan waktu agak lama dan sangat mungkin bisa memperpanjang masa jabatan presiden yang sekarang. Bisa dua atau tiga tahun, dan selama itu tidak boleh ada aturan yang lahir dan mengikat, bersifat stragis dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua hentikan dulu atau dinyatakan tidak berlaku peraturan yang merugikan negara dan bangsa. Bisa dengan Perppu.
Kemudian langkah ketiga dengan Teknik addendum perbaikan UUD amandemen bisa dilaksanakan, dilakukan berbatas waktu.
Nah, Teknik addendum ini bisa dilaksanakan dengan menambah anggota majlis tidak tetap dan tetap dari unsur perseorangan dan non partisan serta memiliki kompetensi yang diperlukan dalam evaluasi dan penyusunan UUD kembali.
Hal-hal yang fundamental lain adalah memastikan terkait kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi. Namun dengan memperpanjang masa jabatan rejim kali ini juga tanpa resiko akan terjadi penolakan pada masayarakat.
Maka momentum politik 2024 saat ini memiliki arti penting agar bangsa ini tidak kehilangan arah dengan cara berhenti sejenak dipersimpangan. Meneruskan melalui Pemilu sama artinya dengan penguatan rejim liberal/neolib, sedang berhenti sejenak dengan resiko mundur beberapa langkah.
Jika pilihannya adalah berhenti sejenak tanpa harus ada dekrit Presiden, maka sejauh pemikiran saya perlu ada anggota tetap dan tidak tidak tetap dari unsur non partisan/perseorangan dalam MPR/DPR.
Mekanisme pengangkatan dapat disepakati Bersama, yang terpenting ada komunikasi dan edukasi pada elemen-elemen masyarakat dengan harapan tidak terjadi keributan.
Saya usul demikian karena kedaulatan rakyat kini sudah diserobot oleh partai politik. Rakyat hanya diminta berbahagia melalui BLT dan panjat pinang.
Inilah paradoks sosial politik yang lahir dari Rahim politik transaksional prakmatis elit partai politik Indonesia.
Redaksi : Pemilu 2024, apakah bung In’am optimis. Dan yang baru lalu juga menyodorkan nama Gibran putra Presiden Joko Widodo. Apa maksud semua itu?
In’am : Saya termasuk orang yang optimis, insyaallah pemilu 2024 akan berjalan dengan lancar. Namun diatas segalanya bermacam kemungkinan perlu diantisipasi, bahkan jika untuk hal lebih baik pemilu bisa tunda dengan alasan untuk memperbaiki konstitusi.
Seperti yang saya sampaikan diatas, dengan segala konsekwensi bisa mengambil langkah tersebut. Yang penting pointnya adalah mengembalikan kedaulatan rakyat jangan lepas dari semangat hal tersebut, diperpanjang masa jabatan presiden, membentuk pemerintahan sementara/transisi atau triumvirat plus. Tentu akan ada jalan.
Soal Gibran kemarin yang riuh rendah menjadi perbincangan, itu hanya merupakan bagian dari bentuk wacana agar masyarakat mampu keluar dari framing Parpol dan Lembaga Survey: Prabowo, Anies dan Ganjar.
Perlu ada keberanian untuk membuat jalur alternatif agar menjadi wacana. Jauh hari juga ada yang mendorong Jumhur Hidayat sebagai calon Presiden/Wakil Presiden sebagaimana Gibran yang saya ajukan sebagai wacana, dan akan menjadi manifes dalam wujud deklarasi jika sudah bertemu dengan Gibran.
Rasionalisasinya dari generasi millennial jumlah pemilih mencapai 33,60% (66.822.389), generasi Z mencapai 22, 85% (46.800.161), sedang generasi X mencapai 28,07% dan terakhir baby bomber ada 13,73% pemilih atau sekitar 28.127.340.
Gibran merupakan generasi millennial yang cukup popular di generasi Z, X maupun baby bomber. Ceruk suara yang saya kira sangat memiliki pengaruh signifikan.
Nah, persoalan kan saya belum bertemu dengan Gibran Rakabuming. Karena ketemuan ini penting, bahwa selain dukungan pada basis pemilih juga perlu ada tukar pikiran/gagasan. Dengan demikian ada kesepakat dan komitmen ide, seperti yang saya kemukakan sebelumnya.
Penyempurnaan dan penguatan konstitusi melalui addendum dan lain-lain. Jika tidak ada kesepakatan dan komitmen Bersama, ya ngapain saya harus deklarasi.
Politik itu serba mungkin dan seni mengelola ‘kemungkinan’ menjadi kenyataan. Sekarang PAN dan Golkar sudah bergabung ke Prabowo, sebelumnya PKB sudah mendahului. Ketiga partai tersebut sedari awal merupakan koalisi yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi secara tidak langsung.
Artinya, komunikasi mereka intens, hal yang terduga bisa terjadi mereka bersepakat justru mecalonkan Gibran sebagai bacawapres Prabowo daripada ambil dari partai masing-masing. Gibran tidak jadi dicalonkan pun juga tidak masalah, karena selama ini saya juga belum bertemu dengan Gibran secara langsung.
Redaksi : Dari penjelasan anda , tampak sikap anda “mendua”?
In’am : Nukan mendua. Memupuk sikap optimis harus diikuti dengan antisipasi atau mempersiapkan skenario terburuk jika tidak sesuai rencana yang dianggap ‘optimis’.
Jadi mau ada Pemilu atau diundur Pemilu tetap dalam rangka mengembalikan kedaulatan rakyat. Maka justru kini yang terpenting adalah sebelum pembahasan atau disetujuinya amandemen para wakil rakyat membuka kepada publik pasal-pasal mana saja yang hendak dirubah.
Pastinya hal ini penting agar tidak menimbulkan kecurigaan pada tahun politik ini. Masyarakat jangan diperdaya ada agenda politik busuk. Maka besok sidang paripurna dalam Minggu ini Agustus 2023 layak kita simak.
Apakah ada proposal dari masing-masing fraksi dan atau DPD untuk melakukan perubahan secara fundamental terhadap konstitusi karena agenda untuk amandemen ini sudah dimulai sejak tahun 2021.
Redaksi : Memang bung In’am sudah menangkap sinyal tersebut dari senayan kah?
In’am : Ya, paling diskusi pinggiran saja dengan beberapa staf khusus anggota DPR dan DPD. Saya berharap DPD sebagai tuan rumah dalam sidang besok akan memberikan usulan baru dalam ketatanegaraan republik Indonesia.(*)
Yogyakarta, Senin 14 Agustus 2023.