Yogyakarta, WartaPemilu – Wawancara eksklusif dengan In’am eL Mustofa S.Ag., M.I.P., direktur Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK) Yogyakarta. Minggu (17/3/2024).
Gerakan masyarakat untuk mendorong DPR melaksanakan hak angket terjadi di beberapa kota besar termasuk Yogyakarta, apa pendapat anda?
In’am eL Mustofa:
Setelah pemilihan, pencoblosan tanggal 14 Februari 2024 yang baru lalu memang sebagian besar masyarakat terhenyak antara percaya dan tidak percaya. Semua saja, baik mereka yang mendukung Anies, Prabowo dan Ganjar.
Apa yang membuat mereka terhenyak? pertama, karena hasilnya diluar ekspektasi. Pendukung Prabowo heran dengan perolehan angka yang begitu besar berkisar 54%-57%, begitu pula pendukung dan pemilih Anies dan Ganjar, heran kenapa perolehannya sedikit.
Kedua, meskipun itu hasil sementara, belum resmi, Masih menunggu dari KPU namun publik sudah terframing sedemikian rupa untuk menerima hasil sementara dari Quick Count dan Sirekap.
Ketiga, beberapa kejanggalan perhitungan yang ditayangkan satu persatu mulai tampak, baik yang ditampilkan oleh masyarakat umum, politisi partai politik, ahli IT dan pemantau pemilu.
Terhenyak itu seperti keadaan diluar nalar, sehingga menimbulkan pertanyaan sekaligus menyisakan ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu Bernama KPU.
Meskipun KPU belum umumkan hasilnya, dalam perkembangan ternyata KPU juga tidak jauh beda, bahkan justru menyuguhkan tontonan kinerja yang amburadul. Memberi kesan bahwa KPU dalam tekanan besar oleh publik dan pemerintah yang keduanya membawa kepentingan. Saya kira itu yang melatar belakangi ide Hak Angket.
Prof Mahfud MD bilang bahwa Hak Angket tidak bisa membatalkan hasil Pemilu tapi dapat memberi sanksi terhadap yang melakukan kesalahan & kecurangan.
Bagaimana anda sendiri menjelaskan hal tersebut??
In’am eL Mustofa:
Hak angket jika akan bergulir hasilnya adalah keputusan politik, itu pointnya. Namun dari gejala politik yang terjadi akhir-akhir ini, sebenarnya partai politik sedang saling menggoda siapa sebenarnya yang akan pegang bandul politik pasca Pemilu.
Komposisi parpol yang berpotensi menjadi oposisi dan di pemerintah masih sangat dinamis, partai politik tentu menghitung hal ini.
Nah, tontonan tersebut menjadi tidak menarik bagi publik karena parpol hanya mementingkan kelompoknya dan tidak menunjukkan sebagai agregasi kepentingan rakyat.
Sebenarnya rakyat tidak menghendaki kalah menang sebuah angket, rakyat hanya berharap DPR ada kesungguhan untuk meneliti, memeriksa terkait pelaksanaan pemilu yang ditenggarai paling buruk dalam sejarah politik Indonesia.
Hal buruk jika adanya begitu harus ada sanksi jangan dibiarkan melenggang tanpa ada akuntabilitas.
Secara tidak langsung anda ingin bilang bahwa DPR setengah hati dalam penggunaan Hak Angket?
In’am eL Mustofa:
Pada akhirnya akan demikian. Puan maharani tidak tampak batang hidungnya kemarin tanggal 4-6 Maret 2024 padahal ada agenda sidang.
Megawati juga tidak memnunjukkan sikap dan arahan kepada partai politik terkait Hak Angket secara khusus, lalu Surya Paloh dipanggil istana dan lain-lain. Artinya rakyat hanya disuguhkan oleh tari-tarian amatiran para politisi.
Tentu saja rakyat masygul dan sangat berpotensi untuk melakukan gerakan ekstra parlementer yang lebih massif. Ekstra Parlementer cepat atau lambat akan berujung pada DPR agar menjalankan fungsinya sebagai lembaga control atas jalannya pemerintah kemudian ujung kedua pada Istana meminta pertanggungjawaban Joko Widodo yang telah diberi mandat langsung oleh rakyat.
Saya berharap justru gerakan yang kedua, menuntut Joko Widodo agar bertanggung jawab atas semua carut marut politik yang kini terjadi. Urusan rakyat adalah dengan Presiden Joko Widodo, urusan dengan partai politik adalah nomer kesekian.
Biarkan parpol menari-nari dengan iramanya. Pada waktunya akan bertemu ketika nada dasar lagunya sama. Framing bahwa pemenang Pemilu sudah harus diterima rakyat kini begitu kuat. Bahkan Prabowo yang belum dilantikpun seperti sudah (seolah-olah) tancap gas untuk melaksanakan program-programnya sesuai janjinya saat kampanye. Betapa percaya dirinya Prabowo.
Sekali lagi bahwa urusan hasil pilpres adalah partai politik, rakyat tidak punya legal standing untuk menggugat karena bukan peserta Pemilu.
Biarlah itu menjadi urusan partai politik. Sekarang agendanya adalah memperkuat sipil agar berkemampuan untuk minta pertanggungjwaban Joko Widodo. Peran Presiden Joko Widodo terkait kondisi politik saat ini yang abai terhadap etika demokrasi dan kualitas demokrasi yang akan datang tentulah amat kental.
Bahkan dalam beberapa hal dapat menjadi preseden buruk, misal dalam pat gulipat rekayasa hukum. Maka Presiden harus menjelaskan semuanya agar fondasi demokrasi tidak rapuh oleh segala bentuk manipulasi, jangan malah sebaliknya presiden memata-matai rakyat (dan partai politik) demi kelanggengan kekuasaanya.
Seberapa yakin anda terhadap penguatan sipil dan people power?
In’am eL Mustofa:
Tugas insan manusia adalah berihktiar dan berjuang untuk kebaikan dan kebenaran. Soal hasil itu bukan urusan manusia karena setiap kebenaran akan ditemukan keadilan, jika tidak ada keadilan yang didapat dapat dipastikan ada manipulasi kebenaran.
Literasi demokrasi dan keadilan yang telah makin kehilangan tempat pada masa kini, perlu mendapat perhatian dan porsi lebih. Kepentingan “lebih” agar ada pencerahan dan penguatan pada publik.
Gerakan pro demokrasi melemah karena menurunnya literasi demokrasi pada rakyat. Apalagi rakyat dilapis bawah kini seperti sendirian karena kurangnya pendampingan literasi demokrasi.
Memang yang saya sampaikan adalah jangka panjang. Tapi dinamika politik juga akan mempengaruhi, semakin pemerintah tidak bermutu dalam melindungi Jiwa rakyatnya, martabat bangsa dan kekayaan negara maka pemerintah masuk kategori salah urus.
Pataslah jika kemudian akhir-akhir banyak terjadi gerakan “Turunkan Jokowi”, itu adalah lonceng peringatan! Sialnya Joko Widodo lebih banyak tidak mengubris. Sikap seperti itu jelas akan membesarkan gairah gerakan rakyat, rakyat menjadi “neg” dengan keangkuhan Presiden.
Keadaan ini cepat atau lambat akan melahirkan people power. Mungkin saja banyak yang mencibir dan meremehkan akan hal ini, tapi siapa sangka Soeharto dapat jatuh dengan sokongan gerakan massa. Padahal Soeharto waktu itu full power!
Demikian wawancara eksklusif wartapemilu dengan direktur Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK) Yogyakarta, In’am eL Mustofa S.Ag., M.I.P.(*)