Denny Indrayana: Putusan MK, Pimpinan KPK, dan Pusaran Rekayasa Pilpres 2024

Prof. Denny Indrayana, S.H. LL.M., Ph.D.
Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Law Firm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia

Melbourne, WartaPemilu – Sejujurnya, saya terhenyak membaca Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 yang memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK, dari awalnya hanya 4 tahun, menjadi 5 tahun. Saya memang sudah memprediksi bahwa hukum hanya akan dimanfaatkan sebagai instrumen pemenangan Pilpres 2024.

Bacaan Lainnya

Namun, saya tidak pernah menyangka bahwa salah satu caranya adalah dengan super-tega memperpanjang jabatan Firli Bahuri Cs dkk. Saya awalnya masih menyimpan harapan dan tabungan prasangka baik. Saya awalnya menduga, tetap akan ada proses seleksi Pimpinan KPK. Namun, ternyata terhadap kekuasaan, apalagi yang terpotret koruptif dan destruktif, yang memang perlu dikedepankan adalah kewaspadaan, bukan harapan.

Meskipun terkejut, sebenarnya putusan MK tersebut masih mengkonfirmasi argumentasi saya bahwa hukum memang telah, sedang, dan akan terus dimaksimalkan oleh kubu status quo sebagai alat pemenangan Pilpres 2024.

Dalam tulisan panjang, “Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, dan Menolak Anies”, saya sudah mengungkap 9 Strategi, 10 Sempurna, cara Jokowi cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Dua di antara strateginya adalah, pertama, dengan menguasai komposisi hakim MK, agar putusan-putusannya, tetap sejalan dengan strategi pemenangan; kedua, menjadikan dugaan kasus hukum sebagai alat tawar, sekaligus alat sandera, guna penentuan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres.

Berikut, saya akan uraikan kedua strategi itu secara lebih detail dan jelas.

MK Minus Negarawan

Salah satu syarat utama hakim konstitusi, yang tidak dimiliki pejabat negara lain, bahkan presiden sekalipun, adalah: Negarawan. Sayangnya, setelah diawal-awal reformasi Mahkamah Konstitusi berhasil menjadi lembaga yang terhormat dan penuh wibawa, melalui putusan-putusannya yang monumental (landmark decisions), perjalanan sejarah lalu membuktikan, dua orang hakim MK tergoda-noda korupsi hingga merusak-telak marwah, harkat, dan martabat MK.

Selanjutnya, tercatat pula hakim-hakim konstitusi yang melanggar etika, terbukti melakukan skandal mengeluarkan katabelece kolutif, mengubah putusan MK, yang harusnya batal kenegarawanannya, alias tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi. Ajaibnya, hakim-hakim minus kenegarawanan itu masih diberi ruang menjadi Yang Mulia Hakim Konstitusi, alias minim sanksi tegas yang semestinya dijatuhkan.

Saya berpendapat, minimnya sanksi serta standar etika syarat Negarawan tersebut, berkorelasi dengan kepentingan menjaga komposisi hakim konstitusi, yang ujungnya bertujuan mengatur putusan MK. Inilah modus yang jamak dilakukan —sebagaimana sandera kasus di KPK, yang akan dipaparkan di bawah— menjadikan masalah sebagai alat sandera, dan dalam hal ini daya tawar berhadapan dengan hakim konstitusi yang minus etika.

Sembilan hakim MK bersumber tiga dari Presiden, tiga dari DPR, dan tiga dari MA. Koalisi status quo di pemerintahan dan di parlemen, karenanya bisa saja mengatur komposisi supaya putusannya berkubu pada kepentingan mereka. Dengan komposisi yang dikuasai, minimal 5 dari 9 hakim konstitusi, maka setiap putusan yang berdimensi politis-bisnis-strategis dapat diamankan sesuai dengan kehendak pembawa pesanan putusan.

Kemana arah politik putusan hakim MK bisa dilihat dari unsur lembaga yang memilihnya dan afiliasi organisasi, atau preferensi politiknya. Itulah pisau analisis yang mestinya digunakan untuk melihat pergantian paksa Hakim Konstitusi Aswanto, yang mendadak-sontak ditarik DPR, dengan cara yang melanggar prinsip konstitusi, kemerdekaan kekuasaan kehakiman (independence of the judiciary).

Salah satu penyebab utamanya karena Hakim Aswanto mbalelo, ke luar dari “gentlemen’s agreement”, tidak lagi patuh pada “sopan-santun politik”, karena: ikut membatalkan bersyarat UU Ciptaker. Itulah dosa politik tidak termaafkan, karena UU Ciptaker harus dipandang sebagai torehan prestasi Presiden Jokowi, sekaligus cara pembayaran dividen politik kepada oligarki yang menyokong proses dan dana pencapresan sebelumnya.

Pengganti Hakim Aswanto adalah Hakim M. Guntur Hamzah, yang silakan saja dicek afiliasi politiknya. Yang pasti, keterlibatannya dalam skandal perubahan putusan MK, seharusnya tidak cukup hanya disanksi ringan teguran tertulis. Ini hanya satu contoh, bagaimana komposisi hakim tetap dipertahankan agar minimal 5 orang berpihak kepada status quo yang koruptif dan destruktif.

Tidak perlu saya jelaskan ada diposisi mana adik ipar Presiden Jokowi, ataupun para hakim konstitusi yang tercatat dijatuhi sanksi etika dalam putusan perpanjangan masa jabatan KPK tersebut. Yang pasti dissenting opinion dilakukan 4 hakim MK yaitu: Saldi Isra, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Wahiddudin Adam.

Keempatnya boleh diprediksi akan selalu menjadi kubu minoritas kalah suara, dalam perkara-perkara politis-bisnis-strategis. Termasuk, menarik untuk melihat bagaimana posisi keempatnya dalam putusan sistem pemilu legislatif proporsional tertutup atau terbuka yang akan segera diputuskan.

Pada tulisan ini saya juga mengajak kita menyimak, bagaimana pelemahan MK sering dilakukan melalui modus perubahan UU MK. Salah satunya yang perlu dicermati adalah lewat godaan gratifikasi perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi. Pasal 87 UU MK terbaru mengatur, hakim konstitusi yang saat ini ada akan mengakhiri jabatannya di umur 70 tahun, dengan masa tugas tidak lebih dari 15 tahun.

Pasal 87 UU MK itulah yang memberikan gratifikasi jabatan kepada para hakim MK. Baca dan renungkanlah kata-perkata dissenting opinion Hakim Wahiddudin Adam dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020. Dengan lugas Hakim Wahiddudin mengatakan:

“… eksistensi  Pasal  87  huruf  b  Undang-Undang a quo menjadi salah satu bukti nyata dan terang-benderang  yang menyebabkan sebagian besar  Hakim  Konstitusi  yang  ada  saat  ini  menjadi  sangat  diuji  kualitas kenegarawanannya. Dengan  berlakunya  Pasal  87  huruf  b  Undang-Undang a quo khususnya   secara   personal   terhadap   sebagian   besar   Hakim Konstitusi  yang  ada  saat  ini,  teramat  sulit  bagi  Mahkamah  untuk  dapat terhindar  dari  bias  subjektif  dalam  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus konstitusionalitas Pasal 87 huruf b Undang-Undang a quo yang dimohonkan oleh  semua  Pemohon …”

Bahkan Hakim Wahiddudin mengungkap bagaimana terjadi intrik di antara para hakim konstitusi ketika memutuskan pasal gratifikasi jabatan tersebut:

“Dalam dinamika persidangan sangat dapat dirasakan bahwa eksistensi beberapa norma,  tidak terkecuali dan khususnya Pasal 87 huruf b, dalam Undang-Undang a quo,  menyebabkan  terjadinya  suasana  yang sangat  kalkulatif  sehingga  di  antara  kita  sesama  Hakim  Konstitusi,  baik diakui  secara  eksplisit  maupun  tidak,  cenderung  mengambil  sikap  saling menunggu  (wait  and  see)  serta  penuh  harap  dan  pamrih  (full  of  stake) terhadap  pilihan  sikap  dari  Hakim  Konstitusi  lainnya.

Saya sepakat dengan Hakim Wahiddudin. Pasal 87 huruf b UU MK adalah ujian dan godaan terang-benderang terhadap sikap Negarawan hakim konstitusi. Sayangnya, fakta sejarah mencatat mayoritas hakim tidak kuasa menolak gratifikasi jabatan tersebut.

Seharusnya, seandainyapun, norma masa jabatan UU MK itu anggaplah memang tidak bertentangan dengan konstitusi, quod non, karena anggaplah menegaskan konsep independensi MK sebagai kekuasaan kehakiman, namun karena ada keuntungan jabatan yang dinikmati oleh pribadi para hakim konstitusi yang memutuskan norma demikian, maka etisnya putusan itu tidak diberlakukan kepada diri mereka sendiri.

4 Sehat 5 Sempurna Pelumpuhan KPK

Ibarat peribahasa, melalui putusan MK tentang perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK tersebut, maka lengkaplah 4 langkah, dan 5 sempurna pelumpuhan KPK.

Pelumpuhan pertama adalah ketika UU KPK diubah melalui perubahan UU Nomor 19 Tahun 2019. Sudah saya jelaskan dalam artikel “Mencopet Reformasi Ala Jokowi”, bagaimana Presiden adalah orang yang paling bertanggung-jawab atas terbitnya UU yang menghilangkan pondasi independensi KPK tersebut.

Pelumpuhan kedua, adalah saat Pimpinan KPK diisi oleh komisioner yang bermasalah dari sisi etika. KPK bahkan sudah memberikan surat resmi soal problem etika kepada DPR, yang saat itu melakukan fit and proper test. Tetapi seperti biasa, yang paling bermasalah justru dijadikan Pimpinan KPK —tentu agar persoalan minus etika tersebut menjadi alat sandera, dan mengikat gerak langkah kinerja KPK.

Pelumpuhan ketiga, ketika MK justru mengesahkan konstitusionalitas Perubahan UU KPK. Tidak seperti masa-masa sebelumnya, MK justru menjadi penguat legitimasi lumpuhnya KPK.

Pelumpuhan keempat, ketika Novel Baswedan dkk. disingkirkan melalui proses manipulatif Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Seandainya hanya UU KPK yang dihancurkan, tetapi masih ada pimpinan atau pegawai KPK masih berintegritas, maka KPK masih ada harapan hidup bernafas. Terbukti saat itulah KPK masih bisa menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara kader PDI Perjuangan, ataupun Menteri KKP Edhy Prabowo, kader Gerindra. Namun, setelah Novel dkk. berhasil dieliminasi, maka selesailah KPK, hilang seperti ditelan buminya Harun Masiku.

Pelumpuhan kelima, adalah penyempurnaan melalui putusan MK yang memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri Cs. Maka lengkaplah KPK makin dikuasai dan dimanfaatkan oleh pimpinan yang minus etika, dan cenderung sukarela membiarkan KPK dimanfaatkan untuk strategi pemenangan Pilpres 2024, memilah-pilih dugaan kasus korupsi yang merangkul kawan, memukul lawan.

Pembuat strategi kelihatannya sudah nyaman dengan Firli Cs. yang lebih bisa dikendalikan, ketimbang mengambil resiko melakukan seleksi lagi pimpinan KPK, yang hasilnya belum tentu bisa diajak kongkalikong dalam strategi Pilpres 2024.

Putusan MK, Strategi Pemenangan Pilpres 2024

Putusan MK yang memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri dkk, tidak bisa hanya dibaca dari segi yuridis, tetapi wajib dianalisis dari sisi politis, khususnya terkait kontestasi Pilpres 2024.

Dari segi yuridis, putusan MK tersebut, juga sangat problematik. Kalau terkait angka, umur, masa jabatan, pakem putusan MK selalu berargumen open legal policy, diserahkan kepada pembuat undang-undang. Argumen bahwa masa jabatan 4 tahun Pimpinan KPK membuka peluang Presiden Jokowi dan DPR periode 2019-2024 dapat melakukan dua kali seleksi Pimpinan KPK, dan karenanya berbahaya bagi independensi KPK, keliru dan mudah dipatahkan.

Faktanya, dengan menambah setahun masa jabatan hingga akhir 2024 sekalipun, yang akan membentuk panitia seleksi tetap Presiden Jokowi, dan yang melakukan proses fit and proper test tetaplah DPR periode sekarang. Presiden baru 2024-2029 hanya akan punya kesempatan melantiknya saja.

Dengan argumen yang sedemikian lemah, tidak ada logika yang wajar, kecuali ada udang dibalik batu, dari putusan MK yang demikian, selain merupakan gratifikasi jabatan kepada Firli Bahuri Cs. Putusan MK tersebut, adalah bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024.

Dengan tetap memimpin KPK, Firli Bahuri dkk. tetap bisa melanjutkan strategi menutup dugaan kasus korupsi kawan-koalisi, sambil terus berusaha melakukan kriminalisasi korupsi lawan-oposisi. Dalam artikel “Korupsilah dalam Pelukan Koalisi”, saya telah menegaskan bahwa pengungkapan kasus korupsi BTS harus diapresiasi dan didukung penuh. Namun, pada saat yang sama harus dikritisi, karena menyebabkan pedang Dewi Keadilan ditebaskan tajam kepada oposisi, sambil sengaja melepaskan alias tumpul kepada koalisi.

Ada yang memprotes saya tidak menghitung terjeratnya Setya Novanto dari kawan koalisi Golkar oleh KPK. Jawaban saya mudah, Novanto menjadi tersangka di akhir tahun 2017, saat KPK belum mengalami pelumpuhan pertama melalui perubahan UU KPK.

Lalu, ada juga yang menyebut kasus Mensos Juliari Batubara, kader PDI Perjuangan, dan Menteri KKP Edhy Prabowo, kader Gerindra, sebagai bukti kawan koalisi Istana tetap ditebas pedang antikorupsi Jokowi. Jawaban saya mudah, dua kasus itu masih bisa terjadi karena tim Gugus Tugas Novel Baswedan dkk. masih aktif bekerja belum dipecat melalui manipulasi TWK.

Begitu fase pelumpuhan tahap kedua dan keempat KPK, dengan memasukkan Pimpinan KPK minus etika, dan hilangnya kelompok “Berani Jujur Pecat”, Novel Baswedan dkk, maka jelas tidak ada lagi pimpinan kawan koalisi yang diproses kasusnya. Termasuk tidak ada upaya sungguh-sungguh mencari buron Harun Masiku, yang sudah menjadi rahasia umum, terkait dengan dugaan kasus korupsi suap pada pimpinan partai penguasa, yang tidak perlu disebutkan namanya.

Akhirnya, putusan MK yang memperpanjang jabatan Pimpinan KPK minus etika, lagi-lagi mengkonfirmasi hukum telah direkayasa menjadi alat bantu strategi pemenangan Pilpres 2024 semata. MK sudah dikuasai komposisi hakimnya, minimal 5 orang sejalan dengan strategi pemenangan. KPK telah dilumpuhkan, senjata antikorupsinya menyandera kasus kawan-koalisi, sambil terus mengancam lawan-oposisi.

Inilah lonceng kematian. Isyarat kesekian, bahwa Pilpres 2024 telah dikondisikan menjadi tidak jujur dan tidak adil. Masihkah ada harapan? Saya terus terang berharap kepada kemukjizatan, sambil terus melakukan perlawanan, meneriakkan kebenaran. Karena harapan hanya akan ada, jika terus diperjuangkan.(*)

Melbourne, 26 Mei 2023

Artikel telah tayang di Kabariku.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *